kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Dua hakim MK ajukan pendapat berbeda


Senin, 29 September 2014 / 20:57 WIB
Dua hakim MK ajukan pendapat berbeda
ILUSTRASI. Nutrisi Penting untuk Anak yang Ikut Berpuasa


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati, menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion, atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Majelis hakim MK membacakan putusan uji materi UU MD3 yang diajukan PDI-P itu pada Senin (29/9). 

Dalam pendapatnya, Maria menilai, pada fakta persidangan, UU MD3 khususnya pasal 84 tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya. Pasal 84 mengatur tentang mekanisme pemilihan Pimpinan DPR dengan sistem paket. Akan tetapi, kata dia, pasal ini tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah diketahui komposisi hasil pemilu. 

Dengan demikian, lanjut Maria, jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum akan tetapi karena kepentingan politik  semata. 

Maria juga mengatakan, jika memperhatikan bukti dan fakta persidangan, tidak terdapat keperluan yang mendesak akan perlunya perubahan terhadap norma Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Pasal ini mengatur tentang komposisi Pimpinan DPR. Apalagi, dalam DIM sebelumnya serta dalam Naskah Akademik, tidak pernah ada pembahasan mengenai hal tersebut. 

"Oleh karena itu menurut saya pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945. Sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya," kata Maria. 

Maria juga mengatakan, pembentukan UU No 17 Tahun 2014, berdampak terjadinya kerugian konstitusional dari anggota dan lembaga-lembaga yang eksistensinya diatur dalam UUD 1945, terutama dalam pembentukan dan pemilihan pimpinan lembaga dan alat kelengkapan dalam MPR, DPR, dan DPRD oleh karena pembentukan UU tersebut dilaksanakan setelah pemilihan umum selesai.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, saya berpendapat bahwa permohonan pemohon tentang pengujian formil terhadap pembentukan UU 17/2014, seharusnya dikabulkan," kata Maria. 

Sementara itu, Arief berpendapat, mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah-ubah dalam setiap pemilu, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang salah satunya menyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. 

Sidang putusan UU MD3 hari ini hanya dihadiri oleh 7 dari 9 hakim Mahkamah Konstitusi. Arief Hidayat dan. Ahmad Fadlil Sumadi tidak dapat menghadiri sidang tersebut karena sedang ada keperluan lain. Pembacaan dissenting opinion Arief dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Hamdan Zoelva. (Fatur Rochman)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×