Reporter: Margareta Engge Kharismawati, Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Nilai mata uang garuda melaju kencang seiring dengan keluarnya data-data ekonomi yang positif dari Badan Pusat Statistik (BPS). Neraca perdagangan pada Februari 2014 mengalami surplus US$ 785,3 juta, sementara inflasi bulan Maret 2014 hanya 0,08% sehingga secara tahunan cuma sebesar 7,32%.
Kondisi ini jelas menjadi angin segar bagi pelaku pasar keuangan. Nilai tukar rupiah di kurs tengah Bank Indonesia menguat Rp 133 poin ke level Rp 11.271 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa (1/4). Padahal, Jumat (28/3) pekan lalu masih ditutup pada level Rp 11.404 per dollar AS.
Namun jangan senang dulu, penguatan rupiah ini diprediksi tak berlangsung lama. Sebab ada risiko permintaan dollar dalam jumlah besar dari korporasi yang dimiliki asing pada beberapa bulan ke depan. Maklum, mereka harus menyetorkan keuntungan kepada pemegang saham yang berdomisili di luar negeri.
Kepala Ekonom BII Juniman mengakui, repatriasi laba perusahaan asing ini menjadi kekhawatiran bakal menekan rupiah pada triwulan II tahun ini. Ia mengingatkan, berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) setiap tahunnya pada triwulan II terjadi repatriasi income yang mencapai sekitar US$ 7 miliar.
Alhasil rupiah akan mengalami tekanan yang cukup besar. Akibatnya, "Hingga akhir triwulan II perkiraan rupiah kembali ke 11.500 lagi," tutur Juniman, kemarin.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih berharap, pemerintah segera mengeluarkan paket kebijakan yang memberikan insentif bagi perusahaan yang mau mengalihkan dana yang hendak direpatriasi untuk diinvestasikan lagi di industri dalam negeri. Adanya insentif diharapkan, mampu menahan arus modal asing. "Kalau bisa aturan tersebut keluar bulan ini juga," katanya.
Siapkan antisipasi
Selain itu, jika nanti pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden berjalan lancar, Lana memperkirakan, arus dana asing bisa kembali masuk ke Indonesia. Masuknya aliran dana ini diharapkan bisa mengompensasi perlemahan rupiah akibat repatriasi laba perusahaan milik investor asing. "Hingga Juni rupiah bergerak di kisaran 11.000-11.500," tandas Lana.
Menteri Keuangan Chatib Basri, belum berkomentar tentang potensi terjadinya repatriasi modal. Ia meyakini, potensi penguatan rupiah bakal berlanjut.
Ia menyebut, kinerja ekspor-impor pada bulan Februari 2014 telah melebihi ekspektasi Kementerian yang ia pimpin. Semula ia memperkirakan surplus neraca perdagangan hanya sekitar US$ 500 juta. Walhasil, "Tadi pagi rupiah sudah bagus, ya mudah-mudahan kalau datanya bagus bisa lebih baik lagi," ujar Chatib.
Penyebab surplus adalah ekspor minyak dan gas (migas) yang naik tipis, dari US$ 2,5 miliar pada Januari menjadi US$ 2,66 miliar. Saat bersamaan, impor migas susut dari US$ 3,55 miliar menjadi US$ 3,46 miliar. Impor Non migas juga turun dari US$ 11.37 menjadi US$ 10,33 miliar.
Soal kapan pemerintah mengeluarkan aturan repatriasi, Menkeu Chatib Basri masih belum mau komentar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News