Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Walau dinilai tidak akan sinkron dengan aturan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Ditjen Pajak yakin Kementerian Keuangan (Kemkeu) tidak akan merevisi aturan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas barang sangat mewah, khususnya properti. "Tidak apa-apa (jika tidak sinkron), karena objeknya berbeda," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemkeu Sigit Priadi Pramudito, Senin (21/9).
Sigit bilang, pemerintah masih akan mempertahankan aturan pemungutan PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah, terutama properti. Sebab, kategori properti mewah dalam aturan PPnBM dan sangat mewah dalam aturan PPh Pasal 22 berbeda: PPh Pasal 22 memungut pajak atas penghasilan pembeli properti yang tergolong mewah, namun aturan PPnBM memungut pajak atas properti itu sendiri.
Seperti diberitakan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro telah memastikan untuk mengenakan PPnBM properti sebesar 20% dengan batasan nilai atawa harga jual. Batas harga jual properti mewah yang menjadi objek pengenaan PPnBM mulai Rp 10 miliar ke atas.
Hal itu menjadi poin utama revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sementara dalam PMK Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah, diatur ada enam jenis barang yang tergolong sangat mewah yang dipungut PPh Pasal 22.
Dalam PMK disebutkan kriteria properti sangat mewah yang dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 5%, yaitu dengan batasan harga jual minimal Rp 5 miliar. Dari dua aturan itu, terlihat bahwa kriteria properti mewah lebih mahal dibandingkan dengan kriteria properti sangat mewah. Sehingga dikhawatirkan, jika revisi tidak dilakukan, dua aturan itu menjadi tidak sinkron.
Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Boko juga menilai objek pemungutan PPnBM dan PPh Pasal 22 berbeda. Jika objek PPnBM adalah properti, objek PPh Pasal 22 adalah pembeli. "Namun tetap perlu pengawasan ketat. Ada kewajiban penjual properti melaporkan ketersediaan dan pengalihan barangnya," kata dia.
Sementara Direktur Eksekutif for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo bilang, perbedaan itu tidak bisa jadi alasan pemerintah membiarkan kebijakan pajak tidak sinkron. "Kategori mewah adalah atribut yang dilekatkan pada satu objek riil," katanya. Dia menilai perbedaan aturan itu nantinya akan menyulitkan Ditjen Pajak dalam hal pengawasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News