Sumber: Antara | Editor: Hendra Gunawan
YOGYAKARTA. Dewan Energi Nasional (DEN) meminta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengkaji ulang rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Mini atau Reaktor Daya Eksperimen di Serpong, Banten.
"Tanpa pengujian secara matang risikonya bisa tidak andal, bocor, dan meledak," kata anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldi Dalimi dalam seminar "Mendorong Keterbukaan Informasi Publik terhadap Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir" di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (25/6).
Rinaldi mengatakan perlu dilakukan riset atau pengujian yang panjang dengan membuat desain Reaktor Daya Eksperimen (RDE) skala kecil sebelum upaya pengembangan energi nuklir melalui pembangunan RED dengan daya 10 megawatt dilakukan di kawasan padat penduduk di Serpong. "Yang mereka inginkan selalu langsung membangun lalu mengoperasikan," kata dia.
Padahal, menurut dia, rencana Batan untuk membangun RDE guna memproduksi listrik, hidrogen, dan pencairan batu bara tersebut hingga saat ini belum memiliki contoh yang riil di negara lain.
Pengembangan nuklir atau pembangunan PLTN, kata dia, merupakan opsi terakhir. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) pasal 11 ayat 3 yang menyebutkan bahwa PLTN ditetapkan sebagai pilihan akhir, mengingat risiko tinggi yang bisa ditimbulkan sehingga mengancam keselamatan sosial masyarakat.
Justru, lanjut dia, dalam Perpres itu juga KEN lebih memprioritaskan pengembangan energi baru terbarukan dengan mencanangkan target 23 persen pada 2025."Justru yang perlu lebih diperhatikan adalah pengembangan energi baru terbarukan, bukan nuklir," kata dia.
Pakar Fisika Nuklir Eksperimen UGM Iwan Kurniawan menilai Batan belum memiliki kemampuan yang memadai untuk membangun RDE berbasis teknologi HTGR.
Rencana Batan yang akan mempercayakan desain RDE kepada vendor Rusia, menurut dia, juga patut dipertanyakan. Pasalnya, Rusia sendiri juga belum pernah membangun RDE berbasis HTGR.
"Sehingga RDE Indonesia dapat dipastikan menjadi objek penelitian ilmuwan Rusia untuk teknologi HTGR dengan seluruh biaya ditanggung Indonesia," kata Iwan yang pernah aktif di Batan.
Oleh sebab itu, menurut dia, rencana pembangunan RDE di Serpong yang diperkirakan membutuhkan biaya Rp 1,6 triliun itu sebaiknya dibatalkan karena tidak menguntungkan untuk Indonesia. "Sebaiknya dana itu digunakan untuk membangun pembangkit energi terbarukan di daerah terpencil," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan investasi RDE di Serpong antara Rp 1,6 triliun dan Rp 1,8 triliun.
Hasil listriknya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik internal. Ia menyebutkan, generasi keempat PLTN tersebut sangat aman dan berbeda jauh dari PLTN pada masa Chernobyl.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News