Reporter: Irma Yani Nasution | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kasus anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati rupanya masih berbekas diingatan Dewan Kehormatan KPU. Dewan Kehormatan KPU meminta ada sanksi bagi anggota KPU yang melanggar etika.
Ketua Dewan Kehormatan KPU Jimly Asshiddiqie, mengusulkan DPR mempertimbangkan untuk merevisi sanksi bagi penyelenggara pemilu itu. Pasalnya, berdasarkan pengalamannya melakukan studi banding ke Amerika Serikat, ada sanksi bertingkat yang diterapkan bagi penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran, mulai dari sanksi ringan hingga yang paling berat.
"Untuk sanksi ringan, ada surat teguran ditujukan secara pribadi kepada yang bersangkutan," katanya dalam Rapat dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, Selasa (20/2).
Sedangkan untuk sanksi yang lebih berat, penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran diumumkan ke publik. "Bisa dimumkan secara terbuka ke pers dan seluruh anggota Senat," paparnya.
Setelah itu, katanya, tahapan selanjutnya ialah pemberhentian sementara, kemudian pemberhentian tetap untuk sanksi berat lainnya. "Sanksi yang paling berat adalah pemberhentian tidak dengan homat," tegasnya. Sementara saat ini dalam UU Penyelenggara Pemilu di Indonesia hanya ada dua sanksi yaitu pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap.
Menurut Jimly, sistem etika perlu dibangun dengan kuat untuk menjaga independensi KPU. "Penting sekali untuk menjaga lembaga KPU dipercaya terus. Kita perlu terus mentradisikan sistem kode etik dan harus terus diperbaiki," jelasnya.
Kasus Andi Nurpati dianggap menjadi preseden buruk bagi penegakan etika penyelenggara pemilu. Andi yang menjadi anggota KPU ternyata merangkap menjadi pengurus Partai Demokrat. Tindakan Andi itu dinilai telah melanggar kode etik KPU karena anggota KPU tidak boleh menjadi anggota partai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News