Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal II-2018 mencapai US$ 8 miliar atau 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Nilai itu melebar dibandingkan dengan kuartal II-2017 yang sebesar 1,96%. Nilai defisit itu juga lebih besar dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 2,2% atau US$ 5,5 miliar.
Defisit yang mencapai 3% dari PDB itu dianggap mengkhawatirkan. Ekonom dan pelaku pasar menyakini angka 3% adalah batas maksimal defisit transaksi berjalan yang aman bagi perekonomian. Lebih dari itu, pasar keuangan domestik dikhawatirkan bakal tertekan karena dollar tersedot ke luar negeri.
Namun, CAD pada kuartal III-2018 diperkirakan bergerak turun. Hal ini seiring dengan beberapa faktor. Pertama, efek dari harga minyak dunia yang bergerak turun. "Tekanan terhadap impor sudah agak turun. Harga minyak tidak seperti Juni. WTI bahkan turun di sekitar US$ 68 per barel. Ini akan kurangi impor migas," jelas Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih kepada KONTAN, Minggu (12/8).
Bloomberg mencatat, harga minyak WTI pada 10 Agustus 2018 mencapai 67,63 per barel. Harga minyak dalam tren turun setelah mencapai level tertinggi pada 10 Juli 2018 sebesar US$ 72,56 per barel.
Harga minyak mentah memang menjadi penyebab utama lonjakan CAD. Pada kuartal II-2018, impor mencapai US$ 7,28 miliar, naik 7,76% dibandingkan kuartal sebelumnya yang US$ 6,76 miliar.
Lana menghitung, defisit transaksi berjalan hingga tutup tahun 2018 akan berkisar 2,8% dari PDB. Dengan begitu maka cadangan devisa di sisa tahun ini tidak tergerus banyak lagi walaupun tekanan terhadap rupiah tetap ada. "Tetap ada tekanan, tapi sentimennya sudah di-priced-in oleh pasar. Termasuk kenaikan FFR (Fed Fund Rate) pada September," jelas Lana.
Kedua, defisit transaksi berjalan di sisa tahun ini, khususnya kuartal III-2018 memiliki kesempatan turun karena berlalunya puncak pembayaran utang luar negeri pemerintah. "CAD akhir 2018 akan menjadi sekitar 2,5% dari PDB," jelas Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro.
Menekan rupiah
Project Consultant Asian Development Bank Institute Eric Sugandi mengatakan, meski data defisit transaksi berjalan merupakan cerminan yang sudah lewat, namun masih ada kemungkinan menimbulkan dampak negatif pada rupiah. "Ada kemungkinan dampak negatif dalam jangka pendek via persepsi pelaku pasar, tapi tidak lama karena ini data tentang sesuatu yang sudah terjadi," jelas Eric.
Menurut Eric, tekanan terhadap rupiah ke depan akan ditentukan oleh faktor eksternal. Yang paling anyar adalah tentang pelemahan lira Turki yang bisa menekan banyak mata uang emerging markets akibat kepanikan investor global. "Kemungkinan naiknya FFR, risiko eskalasi perang dagang oleh AS, dan lain-lain," terang Eric.
Agar defisit transaksi berjalan aman sampai akhir 2018, pemerintah perlu menunda proyek infrastruktur tak prioritas untuk kurangi impor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News