Reporter: Yulianna Fauzi | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pengamat ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan data pangan menjadi suatu dasar yang sangat dibutuhkan dalam melakukan berbagai perencanaan, termasuk swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah. Namun, munculnya data yang tidak sama dari berbagai pihak membuat data dasar untuk perencanaan kerap terganggu. Hal inilah yang menurutnya membuat setiap perencanaan tiap kementerian berbeda-beda.
Dwi Andreas menyatakan bahwa ini kesamaan data pangan merupakan tanggung jawab Badan Pusat Statistik (BPS) sesuai dengan amanat Undang-Undang Statistik yang berlaku. Dirinya menambahkan bahwa BPS harus mampu mengolah berbagai data yang bersumber dari banyak pihak.
"Data yang dikeluarkan Kementan misalnya atau Kemendag ini harus mengerucut menjadi satu data yang resmi dan dihimpun oleh BPS. Perhitungan dari kedua kementerian ini nantinya harus sama dan dikeluarkan secara resmi oleh BPS," jelas Dwi Andreas kepada KONTAN, Rabu (10/6).
Sebagai contoh, menurut Dwi Andreas, yakni data produksi yang kerap bermasalah. Misalnya data produksi beras dimana terdapat selisih data yang cukup besar. Dari berbagai lembaga pengeluar data produksi beras dikatakan produksi beras Indonesia berada di angka 43 juta ton beras. Namun, nyatanya ada saja lembaga yang menyatakan perbedaan angka hingga 8 juta ton beras atau setara dengan 19% dari data awal.
"Jadi berbagai lembaga pengeluar data ini harus duduk bersama kemudian merumuskan dan menyamakan data yang dimilikinya. Agar tidak muncul perbedaan tindakan yang kemudian saling mengacaukan program masing-masing kementerian. Kemudian libatkanlah BPS untuk meresmikan hasil kesepakatan data ini," ungkap Dwi Andreas.
Dirinya juga memaparkan kisahnya dengan mantan Dirut Bulog periode lalu. Di mana saat itu harga beras naik hingga 10% - 15% padahal diangka ini seharusnya sudah muncul kebijakan untuk mengimpor beras. Namun, data berbeda dimiliki Kementerian Pertanian yang menyatakan stok beras aman sehingga tak perlu melakukan impor.
Dari sini, Dwi Andreas memaparkan bahwa perencanaan ke depan tidak boleh menggunakan common sense lagi. Namun, merujuk pada data pasti. Kejadian selisih data produksi beras sebagai contoh menurutnya dapat dijadikan pembelajaran bagi Bulog, Kemendag, dan Kementan sebelum jauh memikirkan target swasembada pangan yang dirasakan tidak akan terwujud di 2016.
"Jangan target swasembada pangan dulu kalau data pangan belum jelas. Karena selama data belum jelas tentu tidak akan terwujud malah data yang jelas semakin menyusahkan hidup petani kita," ungkap Dwi Andreas.
Dirinya menilai, data produksi beras yang tak sama antara berbagai lembaga kerap menyulitkan petani. Dimana spekulan nakal dapat memanfaatkan hal ini untuk memainkan harga dan berujung pada impor beras yang menyulitkan petani lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News