Reporter: Herry Prasetyo, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Alarm tanda bahaya krisis ekonomi kembali meraung. Belum selesai masalah defisit transaksi berjalan, sekarang muncul gejolak lain. Tanpa diduga, utang luar negeri Indonesia semakin membengkak dan mengancam perekonomian negara kita.
Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan mencatat, utang luar negeri Indonesia per Februari 2014 lalu mencapai US$ 272,1 miliar. Angka ini naik 7,45% ketimbang periode yang sama di 2013. Kenaikan utang luar negeri itu didorong peningkatan utang luar negeri sektor swasta yang melonjak signifikan. Per Februari 2014, utang luar negeri swasta mencapai US$ 143,07 miliar. Dibanding periode yang sama tahun 2013 lalu, nilai utang luar negeri swasta kita meningkat 11,68%.
Dalam tiga tahun terakhir, utang luar negeri swasta memang meningkat terjal. Yang mengkhawatirkan, sejak 2013 lalu, porsi utang swasta sudah melebihi utang pemerintah dan bank sentral. Porsi utang luar negeri swasta per Februari 2014 mencapai 52,58% dari total utang luar negeri Indonesia, sedangkan porsi utang luar negeri pemerintah 47,42%.
Pembengkakan utang tersebut juga tecermin pada rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2013, yang naik menjadi 30,35%. Angka tersebut sudah di atas rasio utang luar negeri terhadap PDB pada krisis keuangan 2008 lalu (30,1%).
Memang, rasio ini masih tergolong sehat karena masih di bawah batas aman rasio utang terhadap PDB di level 60%. Cuma, satu hal yang mencemaskan, indikator rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor alias debt service ratio (DSR) begitu tinggi. Rasio pembayaran utang luar negeri sepanjang 2013 tercatat sebesar 42,73%. Malah, jika dihitung per kuartal, DSR pada kuartal IV–2013 sempat menyentuh 52,7%. Artinya, lebih dari separuh penerimaan ekspor terpakai untuk membayar utang.
Ancaman krisis
Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, mengatakan, kenaikan DSR memang patut diwaspadai. Apalagi, saat ini DSR sudah jauh di atas DSR pada saat krisis moneter 1998 lalu. Tahun 1997, rasio pembayaran utang luar negeri cuma sebesar 35% dari penerimaan ekspor kita.
Menurut Mirza, pangkal pemburukan DSR ada dua: utang luar negeri yang terus bertambah dan laju ekspor yang menurun. Masalah semakin tampak manakala kita mencermati bahwa sebagian dana hasil utang luar negeri swasta digunakan untuk kegiatan usaha yang bukan berorientasi ekspor. Lantaran orientasi pasar mereka domestik, otomatis pendapatan perusahaan berdenominasi rupiah. “Padahal, utangnya dalam bentuk valuta asing,” katanya.
Kondisi utang luar negeri yang semakin membengkak tak urung menciptakan pelbagai risiko. Sekadar mengingatkan, salah satu pemicu krisis moneter 1998 adalah utang luar negeri yang begitu besar dan tidak terkontrol. Bukan tidak mungkin, meski fundamental perekonomian negara kita saat ini lebih baik, tren utang luar negeri yang terus menggembung bisa membawa ekonomi Indonesia kembali ke dalam lubang krisis seperti tahun 1998 silam.
David Sumual, ekonom Bank BCA, mengingatkan, gejolak ekonomi di luar negeri seperti krisis di Ukraina maupun perlambatan ekonomi China bisa merembet ke Indonesia. Dengan jumlah utang luar negeri yang tinggi serta defisit transaksi berjalan yang besar, pelbagai risiko dari luar negeri bisa memicu krisis ekonomi di dalam negeri. “Apalagi saat transisi politik seperti ini,” ujarnya.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 32 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News