Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa perlindungan konsumen di era digital masih masih perlu ditingkatkan. Meskipun pemerintah telah berupaya memperbarui peraturan untuk mengakomodir perkembangan ekonomi digital yang rumit perbaikan diperlukan dari segi penegakan peraturan.
Peneliti CIPS Tiola Allain mengatakan perlindungan konsumen merupakan faktor yang membutuhkan perhatian lebih dalam industri e-commerce dan teknologi finansial (fintech) di Indonesia.
“Upaya preventif melalui edukasi konsumen dan peningkatan literasi keuangan diperlukan untuk memastikan perlindungan konsumen, yang saat ini sebagian besar diatur dalam Undang- Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” ujarnya melalui keterangan pers yang diterima Kontan.co.id, Senin (6/1).
Namun, Tiola bilang, UU yang mulai berlaku pada April 2000 ini, jauh sebelum transaksi digital mulai berkembang pesat, perlu diperbaharui untuk mengakomodir dinamika industri ekonomi digital.
Baca Juga: Puluhan Fintech Lending Masih Punya Pinjaman Macet yang Tinggi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Mei 2022, memperbarui peraturan tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan melalui Peraturan OJK (POJK) No. 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Selain itu, di Januari 2023 UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) turut memperkuat perlindungan konsumen, dengan menegaskan bahwa Pelaku Usaha Sektor Keuangan (PUSK) dilarang memberikan produk dan/atau layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian atau informasi yang dinyatakan dan dilarang menjual atau menawarkan produk dan/atau layanan yang tidak memiliki izin.
“Namun, pembaruan peraturan saja tidak cukup untuk melindungi konsumen, karena penegakan aturan juga memainkan peran kunci,” jelas Tiola.
Menurutnya, di sektor jasa keuangan Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK memiliki peran penting yang bertanggung jawab untuk menyelidiki investasi ilegal serta memberikan edukasi kepada publik mengenai hal- hal yang berkaitan dengan investasi dan lembaga keuangan ilegal.
Tiola menyebut, antara 2018 dan 2022, SWI sudah mengidentifikasi dan menutup 4.352 perusahaan pemberi pinjaman ilegal. Meski demikian, kata dia, pengaduan terkait lembaga keuangan ilegal terus meningkat.
“Oleh karena itu, tindakan penegakan hukum perlu dibarengi dengan upaya peningkatan kesadaran dan literasi keuangan di kalangan konsumen, terutama dalam mengambil keputusan tentang produk dan layanan keuangan,” tandasnya.
Baca Juga: Melihat TKB90 untuk Keamanan Pendanaan P2P Lending
Tiola menambahkan, literasi yang lemah dapat menyebabkan konsumen membuat keputusan keuangan yang buruk, terjebak dalam perangkap utang atau terjerat dalam produk investasi ilegal.
“Memang, literasi keuangan kita tumbuh dalam tiga tahun terakhir. Namun, selama kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan tetap lebar, risiko konsumen untuk terjebak dalam investasi yang buruk tetap tinggi,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News