Reporter: Adi Wikanto, Agus Triyono, Asep Munazat Zatnika, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) resmi menjabat presiden dan wakil presiden Indonesia kemarin. Pelaku pasar dan ekonom berharap pemimpin baru ini segera merealisasikan janjinya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan mengalokasikan dananya ke sektor produktif.
Kini ada kekhawatiran, rencana kenaikan harga itu terganjal oleh minimnya dana bantuan sosial di anggaran tahun ini. Sebelumnya pengusaha dan pakar ekonomi menyebutkan, Jokowi berencana menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter mulai 1 November 2014. Dengan demikian, harga BBM bersubsidi nanti menjadi Rp 9.5000 per liter.
Namun, berkaca dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dengan besaran Rp 150.000 per bulan per rumah tangga miskin. Di tahun 2013, saat harga BBM naik Rp 2.000 per liter, pemberian bantuan berlangsung selama 4 bulan kepada 15,5 juta masyarakat.
Dengan skema yang sama, pemerintah baru harus menyediakan dana bantuan sosial sebesar Rp 9,3 triliun. Padahal, APBN-P 2014 hanya mengalokasikan dana Rp 5 triliun untuk cadangan sebagai antisipasi kenaikan BBM.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu), Askolani, mengakui, APBN-P 2014 tak bisa memberikan bantuan secara menyeluruh seperti tahun 2013 jika harga BBM naik sebesar Rp 3.000 per liter. "Dana yang tersedia hanya bisa memberikan kompensasi selama 2-3 bulan saja," kata Askolani tanpa merinci besaran bantuan masing-masing per keluarga, Senin (20/10).
Mantan Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, mengakui, dana cadangan di APBN-P 2014 dan APBN 2015 yang masing-masing Rp 5 triliun bukan untuk mengkover kenaikan BBM sebesar Rp 3.000 per liter. Dana cadangan sebesar Rp 10 triliun tersebut hanya sanggup mengantisipasi kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter. "Dana Rp 5 triliun di tahun 2014 dan tahun 2015 itu untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat selama tiga bulan," ujar Bambang.
Tak maksimal
Dalam riset terbarunya, John Rahmat, Head of Equity Research PT Mandiri Sekuritas khawatir, minimnya dana cadangan bantuan sosial itu akan menghambat rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Perhitungannya, dana kompensasi yang tersedia hanya cukup untuk menanggung kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 2.000 per liter.
Jika Jokowi-JK tetap menginginkan kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 3.000 per liter, maka Jokowi harus memperbesar dana kompensasi kepada masyarakat. Tapi upaya ini sulit dilakukan, karena perubahan dana kompensasi harus melewati persetujuan DPR. "Sedangkan saat ini DPR sudah dikuasai oleh kelompok oposisi," kata John.
Kelompok oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih (KMP) bisa saja menolak perubahan dana kompensasi di APBN 2015. Di DPR, KMP memiliki 353 kursi atau 63% suara, sedangkan Jokowi-JK yang didukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) hanya 207 kursi atau 37%. KIH pasti harus menyerah kalah jika harus melakukan pemungutan suara terbuka (voting) untuk menambah dana kompensasi.
Sementara, jika harga BBM hanya naik Rp 2.000 per liter, efeknya tak maksimal. Tahun ini, kenaikan harga BBM Rp 2.000 per liter, hanya menghemat anggaran subsidi Rp 14 triliun. Jika harga naik Rp 3.000 per liter, penghematannya mencapai Rp 21 triliun.
Salah satu tim ekonomi Jokowi, Arief Budimanta, menegaskan, keterbatasan dana kompensasi bukan alasan yang bisa menghambat rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika dana bantuan sosial dinilai kurang, pihaknya akan mencari sumber penghematan lainnya. Menurutnya, berapapun kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah Jokowi tidak akan membebani masyarakat.
Suryo Bambang Sulisto, Ketua Kadin mengatakan bahwa besaran subsidi BBM di Indonesia saat ini sudah mengganggu kesehatan ekonomi di dalam negeri. Oleh karena itulah dia meminta pemerintahan Jokowi-JK segera memperbaiki subsidi BBM. "Kami usulkan subsidi BBM dihapus," kata Suryo.
Suryo mengakui penghapusan subsidi BBM bisa berdampak kepada peningkatan laju inflasi dan menekan kehidupan masyarakat, khususnya miskin. Namun, dampak tersebut masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan manfaat yang dihasilkan dari penghapusan subsidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News