Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perekonomi Indonesia masih akan menghadapi tantangan berat pada tahun 2018. Tak hanya datang dari dalam negeri sendiri, tantangan datang dari global. Namun demikian, bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan berbagai kebijakan agar perekonomian Indonesia melaju semakin kencang.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan, perekonomian Indonesia pada periode mendatang sudah punya modal bagus untuk tumbuh kencang.
Itu antaral in, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal ketiga 2017 yang tercatat 5,06% merupakan pertanda pemulihan. Lalu, investment grade dari Standard and Poor's (S&P) hingga membaiknya daya saing global (Global Competitiveness Index) oleh World Economic Forum ke posisi 36.
Oleh karena itu, untuk membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4%, BI akan mengeluarkan kebijakan yang memacu kredit perbankan tumbuh 10%–12% year on year (YoY) tahun 2018. Jumlah itu naik dari tahun ini hanya 8% YoY.
Kebijakan pertama, memperluas pelonggaran Giro Wajib Minimum Averaging (GWMA) untuk perbankan syariah dan memperluas cakupan mata uang ke valuta asing serta menyesuaikan rasio dan memperpanjang masa pemenuhan GWM rata-rata.
"Penyempurnaan ini akan kami tempuh secara bertahap dan terukur," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam acara Pertemuan Tahunan BI di Jakarta Convention Center, Selasa (28/11) malam.
Sebelumnya, BI telah memberlakukan ketentuan GWMA untuk perbankan konvensional sejak Juli 2017, setelah selama ini berlaku kebijakan GWM primer harian. Selama ini rasio GWM primer harian dipatok sebesar 6,5% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).
Dengan GWMA, 5% dari rasio 6,5% tersebut dihitung dengan skema tetap. Sedangkan sisanya sebesar 1,5%, dihitung dengan skema rata-rata per dua minggu.
BI berharap, kebijakan GWMA membuat perputaran dana di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) semakin besar. Dengan demikian, biaya dana bank (cost of fund) semakin rendah sehingga meningkatkan permintaan kredit perusahaan.
Kedua, mengubah rencana pelonggaran kebijakan rasio kredit terhadap agunan (Loan to Value atau LTV) menjadi per jenis properti (segmented) saja. Misalnya LTV untuk apartemen, rumah tapak, ruko, dan sebagainya.
Ketiga, menyiapkan aturan terkait rasio intermediasi makro prudensial atau yang disebut juga Financing to Finance Ratio (FFR). Rencananya, aturan ini bakal keluar awal tahun depan, sehingga bisa langsung mendorong penyaluran kredit.
Vice President Senior Credit Officer, Corporate Finance Group Moody's Brian Grieser menyebut, perekonomian Indonesia tahun depan bisa saja tumbuh 5,4%, tapi juga bukan tidak mungkin hanya 4,5% dengan skenario pesimistis.
"Pertumbuhan 4,5% terjadi jika pemerintah tak mampu melakukan tahap konstruksi pada proyek infrastruktur, serta jatuhnya harga komoditas dan kondisi politik akibat pilkada," jelas Brian.
Namun bila pemerintah berhasil mengakselerasikan proyek-proyek infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia di batas atas 5,5% . Pasalnya, proyek infrastruktur akan mendorong daya beli konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News