kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI: Hilirisasi Indonesia Hadapi Tantangan Internal dan Eksternal, Ini Masalahnya


Senin, 30 Januari 2023 / 16:36 WIB
BI: Hilirisasi Indonesia Hadapi Tantangan Internal dan Eksternal, Ini Masalahnya
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bersama para Deputi Gubernur BI saat peluncuran Laporan Transparansi dan Akuntabilitas Bank Indonesia (LTABI), Senin (30/1).


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA.  Tekad Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetop ekspor mineral atau ore mentah susah ditawar. Perintah Jokowi, mulai Juni 2023, Indonesia wajib menghentikan ekspor bauksit dengan tujuan mendorong industri pengolahan dan hilirisasi di Tanah Air.  

Tak sebatas bijih bauksit, morotorium atau penyetopan biji tembaga juga akan dilakukan pada medio tahun ini. Dus, dengan begitu pada tengah tahun ini,tiga mineral mentah yang akan distop ekspornya yakni nikel yang berlaku sejak akhir 2020, lalu bauksit dan tembaga pada Juni 2023 nanti.

Mendukung program hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah, Bank Indonesia menyebut program hilirisasi yang dilakukan Indonesia menghadirkan peluang sekaligus tantangan. “Peluang yang muncul adalah investasi kapasitas smelter di Tanah Air,” sebut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo saat webinar dalam rangkaian peluncuran Laporan Transparansi dan Akuntabilitas BI (LTBI) 2022, (30/1).

Sebagai gambaran, hingga kuartal III 2022,  investasi smelter baik penambahan kapasitas olahan dan pembangunan mencapai US$ 6,9 miliar oleh Penanaman Modal Asing (PMA), sementara investasi oleh pengusaha lokal atau PMDN mencapai Rp 8,7 triliun. Jumlah smelter juga bertambah dari 60 smelter di tahun 2021 menjadi 78 smelter di tahun 2022.

Adapun tantangan yang harus dihadapi, kata Dody adalah masalah ketahanan cadangan dan sumber daya alam, kebutuhan investasi sekaligus kebijakan  yang muncul dari mitra dagang.

Dari sisi ketahanan cadangan semisal. “Ternyata cadangan hilirisasi produk kita tidak begitu kuat. Artinya, cadangan mineral kita semakin menipis (depleting) dari tahun ke tahun," kata Dody. Kondisi ini terjadi di komoditas mineral unggulan Indonesia yakni nikel, bauksit, batubara serta timah.

Dalam paparannya, BI bersumber data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memaparkan, cadangan terbukti nikel Indonesia jika di tahun 2021 mencapai 45,46 juta ton maka di tahun 2030 hanya akan mencapai 10,56 juta ton.

Adapun cadangan bauksit pada tahun 2030 akan mencapai 29,26 juta ton dari 32 juta ton di 2021.  Pun dengan batubara yang akan menjadi 32,35 juta ton dari 38,21 juta ton pada periode yang sama. Sementara cadangan timah lebih tipis lagi menjadi 1,46 juta ton dari di 2021 sebanyak 2,23 juta ton. 

Kendala lain yang harus dihadapi adalah Indonesia juga harus berhadapan dengan gugatan oleh mitra dagang di wasit perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) atas penyetopan ekspor mineral mentah. “Sebenarnya banyak negara melakukan ini, menyetop ekspor komoditasnya, tapi kenapa Indonesia digugat? That's the point," kata Dody.

Tantangan lainnya adalah industri hasil hilirisasi yang belum sepenuhnya kuat. “Produk antara atau hilir kita masih banyak didominasi oleh impor,” kata Dody. Kondisi ini harus segera diantisipasi dengan pengembangan industri manufaktur khususnya di antara hulu dan hilir. 

Sebagai contoh tembaga. Indonesia masuk sebagai 10 besar pemain tembaga dunia.  Peringkat  yang disusun cadangan terbukti dan produksi menempatkan Indonesia menjadi produsen terbesar ke delapan dunia dengan pangsa 3,7%. Meski memiliki daya saing yang tinggi, tulis Dody dalam paparannya, nilai tambah dalam fase smelting masih kecil dengan  hasil atau by product yang belum termanfaatkan.

Lalu,  industri forming belum optimal dengan potensi permintaan atau demand yang masih sedang. Walhasil, hasil produksi smelter akan melebihi kebutuhan domestik

Tercatat sebagai salah satu produsen nikel (Ni) besar dunia, Indonesia adalah pemain inti atau key player dalam pasar nikel dengan penguasaan pangsa pasar sebesar 27%.  Indonesia juga termasuk memegang cadangan nikel terbesar dunia dengan mengempit 23,7% cadangan nikel dunia.

Nikel Indonesia memiliki daya saing tinggi mengingat nikel Indonesia memiliki grade beragam dari yang bagus di atas 1,7% sehingga lebih ramah lingkungan serta mampu menurunkan biaya smelter. Sementara nikel dengan grade di bawah 1,7% mampu untuk memenuhi pasar baterai EV yang memiliki potensi besar, selain sebagai bahan baku stainless steel yang terus naik permintaannya.

Tak hanya itu saja. Indonesia juga kaya aluminium (AI) dengan masuk 10 besar dunia. Peringkat Indonesia ada di posisi 6 besar  dunia dengan pangsa pasar 4,3%. "Hanya terkait dengan daya saing, Indonesia masih kesulitan menaklukan Tiongkok seiring banyaknya insentif yang diterima oleh produsen di sana," sebut Dody. 

Adapun potensi permintaan dalam kategori sedang yakni sebagai substitusi impor kebutuhan alumina domestik, sementara  produk hilir masih sulit bersaing dengan Tiongkok.

Untuk itu, sebut Dody, akselerasi hilirisasi sumber daya alam dan industri turunannya harus terus diperkuat untuk mendorong kapasitas output untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi demi memperkuat ketahanan. “Koordinasi, sinergi dan inovasi kebijakan dibutuhkan untuk menjawab tantangan,” sebut Dody.

Lalu, re prioritisasi pengembangan industri jangka menengah dan panjang juga perlu disusun, selaras dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) Tahuun 2015-2035 dengan mempertimbangkan penyusutan cadangan mineral yang kritis.

Menurut Dody, hilirisasi harus difokuskan pada sejumlah komoditas logam utama didukung dengan insentif fiskal  dan nonfiskal, regulasi terkait investasi, hingga bentuk dukungan lainnya.

Adapun untuk meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan inklusif dan pemulihan ekonomi nasional, BI juga telah memberikan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit atau pembiayaan ke sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) dalam bentuk pelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah rata-rata maksimal sebesar 2%, yakni pertama, melalui insentif atas pemberian kredit atau pembiayaan kepada 46 sektor prioritas paling besar sebesar 1, 5%, kedua  insentif pencapaian RPIM paling besar sebesar 0,5%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×