kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Beragam Kebijakan Pajak Pemerintah Beri Dampak Buruk untuk Perekonomian


Minggu, 24 November 2024 / 13:54 WIB
Beragam Kebijakan Pajak Pemerintah Beri Dampak Buruk untuk Perekonomian
ILUSTRASI. Konsumen berbelanja kebutuhan pokok di pasar swalayan, Bekasi, Senin (18/11/2024). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/18/11/2024. Tahun 2025 mendatang, ada berbagai kebijakan pajak yang akan mulai diterapkan pemerintah, mulai dari kenaikan PPN menjadi 12%, PPh final UMKM.


Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2025 mendatang, ada berbagai kebijakan pajak yang akan mulai diterapkan pemerintah, mulai dari kenaikan PPN menjadi 12%, PPh final UMKM yang Kembali normal hingga skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk perhitungan PPh 21. Kebijakan-kebijakan tersebut dinilai justru akan berdampak buruk pada kondisi perekonomian. 

Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menjelaskan semua langkah dan kebijakan yang sedang direncanakan maupun sebagian sudah diputuskan itu jelas akan berdampak cukup signifikan pada kondisi perekonomian saat ini. Daya beli masyarakat yang stagnan bahkan cenderung melemah perlahan selama setahun ini akan makin tertekan. 

"Sebagai contoh penerapan PPN 12% akan langsung berdampak, apalagi awal tahun Januari hingga 2025 biasanya banyak produk industri dan jasa yang menaikan harga, andai PPN tidak dinaikan sekalipun," jelas Awalil kepada Kontan, Sabtu (23/11).

Menurut Awalil hal itu berdampak kepada industri, terutama yang memiliki elastisitas permintaan besar. Seperti produk yang konsumen bisa menunda pembelian ataupun mengurangi kuantitasnya yaitu mobil, barang elektronik, komunikasi. Sedangkan jasa akan pada barang budaya atau rekreasi.

Baca Juga: Pemberantasan Impor Ilegal Percuma Tanpa Supremasi Hukum

Akan tetapi, Pemerintah sendiri sedang kesulitan fiskal. Pendapatannya semakin sulit ditingkatkan atau hanya bisa sedikit naik, sedangkan belanja terindikasi akan membengkak. 

"Ada penambahan birokrasi serta janji-janji besar yang mau diwujudkan, yang berdampak tambahan belanja atau pengeluaran negara," ujar Awalil. 

Awalil mengatakan beban masyarakat dan dunia usaha akan makin berat, dan itu dipikul pada saat kondisi yang tidak tepat. Menurutnya yang harus segera dibenahi lebih dahulu dan bisa segera dilakukan adalah kualitas belanja pemerintah. Kualitas belanja mencakup efektifitas dan efisiensi. 

Jika nominal belanja dapat ditekan namun tetap bisa menciptakan output dan outcome seperti yang diharapkan, maka kondisi fiskal akan membaik. Dari kondisi yang membaik tersebut, maka ruang kebijakan menjadi lebih luas, berbagai opsi menjadi lebih terbuka.

"Untuk penerimaan perpajakan, sebaiknya pemerintah tidak usah ngotot," ungkapnya.

Awalil mewanti-wanti pemerintah harus menimbang secara lebih hati-hati karena bisa memperparah kondisi perekonomian. Pada giliran berikut justru mengurangi potensi penerimaan di tahun-tahun berikutnya. 

Baca Juga: Ribuan Orang Teken Petisi Tolak Kenaikan Tarif PPN

Selanjutnya: Jelang Hari Pencoblosan, Jalanan di Jakarta Mulai Steril APK

Menarik Dibaca: Rekomendasi Warna Cat Dapur yang Bikin Terasa Lebih Mengundang Selera

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×