Reporter: Hasyim Ashari | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Pemerintah sedang melakukan reformasi perpajakan melalui revisi sejumlah undang-undang (UU). Hal ini supaya bisa mendukung program perpajakan yang saat ini berjalan yaitu pengampunan pajak atau tax amnesty.
Ada tiga UU yang rencananya akan dibahas di DPR yaitu UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain itu untuk menunjang kinerja pajak perlu juga adanya revisi terhadap UU Perbankan terutama terkait keterbukaan data perbankan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama mengaku dari tiga UU yang akan diajukan ke DPR baru satu yang sudah masuk yaitu UU KUP. Dua UU lainnya saat ini masih dalam proses pembahasan di Kementerian Keuangan.
"UU PPh dan UU PPN masih dalam tahap pengkajian di kementerian dan juga sedang dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM," ujar Hestu kepada KONTAN, Rabu (2/11).
Hestu mengaku akan mengusahakan supaya dua UU lainnya bisa masuk ke DPR pada waktu dekat. Ini agar bisa segera dibahas dan tidak ketinggalan momentum perpajakan dengan adanya program tax amnesty. Namun sayangnya, Hestu tidak merinci apa saja yang menjadi poin penting dalam dua UU tersebut.
Meskipun demikian, Hestu tetap berharap supaya DPR segera melakukan pembahasan UU KUP pada masa sidang selanjutnya. Hal ini supaya berkesinambungan dengan UU tax Amnesty. "Kita inginnya supaya masa sidang berikutnya bisa dibahas," ungkapnya.
Selain tiga UU tersebut, Hestu juga meminta agar DPR memperhatikan UU Perbankan. Pasalnya beleid ini sangat berkaitan dengan kinerja dari perpajakan, sebab perpajakan sangat membutuhkan akses data dari perbankan apalagi pada 2018 ada keterbukaan data perbankan antar negara.
"Supaya DJP bisa bekerja dengan baik maka perlu adanya data, kalau tidak disuport dengan data tidak mungkin bekerja efektif termasuk data perbankan," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menyarankan supaya tiga UU tersebut dibahas secara bersamaan. Hal ini supaya terjadi sinkronisasi dalam UU perpajakan dan tidak terjadi tumpang tindih antara satu pasal dengan pasal lainnya.
"Pengalaman sebelumnya ketika pembahasan dilakukan terpisah, ada ketidaksinkronan antara satu UU dengan UU yang lainnya. Pembahasan bersama ini untuk mencegah terjadinya itu," ungkapnya.
Anggota Komisi XI DPR, Indah Kurnia menyampaikan bahwa pihaknya akan mengupayakan supaya UU KUP bisa dibahas pada sidang selanjutnya setelah masa reses selesai. Namun sayangnya Indah tidak bisa memastikan kapan tepatnya akan dibahas. "Kita akan usahakan segera di bahas," katanya.
Selain itu dia juga bilang bahwa tidak hanya kecepatan pembahasan saja yang perlu dilakukan, sinkronisasi dalam setiap undang-undang juga perlu ditekankan. Maka dari itu dia mengaku akan mengawal supaya ada keterkaitan satu sama lain dan tidak tumpang tindih.
Sebagai catatan dalam UU KUP akan ada beberapa perubahan diantaranya yaitu Direktorat Jenderal Pajak akan menjadi sebuah badan baru yang otonom dan tidak lagi di bawah naungan Kementerian Keuangan. Kemudian ada perubahan pada nomenklatur dari wajib pajak menjadi pembayar pajak.
Selanjutnya untuk UU PPh akan ada perubahan dari sisi tarif, yang mana nantinya akan disamakan dengan negara-negara tetangga. Hal ini supaya bisa kompetitif sehingga banyak investor masuk ke Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News