kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bangun industri untuk bendung defisit


Kamis, 23 Oktober 2014 / 10:26 WIB
Bangun industri untuk bendung defisit
Warga mendapatkan pelayanan dari karyawan untuk memperoleh informasi terkait pelaporan wajib pajak di gerai Pojok Pajak yang berada di Central Park, Jakarta, Senin (13/3/2023). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Herry Prasetyo, Mimi Silvia, Tedy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Dalam sebuah kesempatan di sekitar medio Mei 2012 lalu, Wakil Presiden Boediono pernah memberikan peringatan soal teori kutukan sumber daya alam. Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini, negara yang mendapat karunia sumber daya alam, jika tidak berhati-hati cenderung sulit untuk maju.

Faktanya, peringatan Boediono itu memang telah menimpa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Terlena dengan sumber daya alam, negara kita jorjoran melakukan eksploitasi tanpa mengedepankan keberlanjutan, baik di sisi lingkungan maupun sisi ekonomi.

Di sisi ekonomi, Hendri Saparini, ekonom UI, menuturkan, dalam struktur ekspor Indonesia, sekitar 65% didominasi oleh komoditas primer. Dus, faktor suplai dan permintaan serta fluktuasi harga komoditas di pasar internasional sangat-sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor negeri ini.

Produk komoditas primer yang berasal dari alam dijual dalam bentuk mentah secara besar-besaran. Setelah diproduksi negara lain menjadi barang setengah jadi dan barang jadi bernilai tambah yang berkali-kali lipat, lalu kita impor dengan harga mahal. Komoditas energi seperti gas alam juga dilego murah meriah ke negara lain, sementara pelaku usaha di dalam negeri kocar-kacir mencari pasokan gas alam.

Celakanya, perlambatan ekonomi juga sedang terjadi di China, Jepang, dan negara-negara Eropa yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia. Akibatnya, permintaan terhadap komoditas primer juga melemah yang berujung pada melandainya harga. Inilah salah satu faktor yang membuat neraca perdagangan kita berdarah-darah sejak tahun 2012.

Pada sebagian komoditas seperti batubara, kondisi ini diprediksi akan berlanjut ke tahun depan. Fitch Ratings dalam riset yang dipublikasikan 30 September 2014 kemarin menyebut, harga batubara dalam 12 bulan ke depan bakal menghadapi tekanan. China, importir batubara terbesar di dunia, mengenakan bea impor batubara. Besaran bea masuk batubara ditetapkan 3%–6%.

Langkah ini dilakukan untuk membatasi impor batubara terkait isu lingkungan hidup dan perlindungan terhadap penambang lokal. Kebijakan tersebut akan membuat suplai batubara di negara produsen, seperti Australia dan Indonesia, menumpuk dan berujung pada tekanan terhadap harga.

Tak selesai dengan solusi jangka pendek

Betul, setelah mencapai posisi tertinggi di 2012, impor nonmigas Indonesia berhasil ditekan. Sepanjang Januari–Agustus 2014, impor nonmigas Indonesia turun 5,76% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada saat yang bersamaan, ekspor nonmigas juga mengalami penurunan 1,29%.

Tapi di sisi lain, impor migas Indonesia terus melonjak dan jauh lebih besar ketimbang ekspor. Alhasil, secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia hampir tiga tahun terakhir selalu mengalami defisit.

Persoalannya, tidak gampang untuk mengubah neraca perdagangan dari defi sit menjadi surplus dalam waktu singkat. Bahkan dalam tempo satu tahun ke depan, Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom Danareksa Research Institute, yakin, defi sit neraca dagang masih akan membayangi perekonomian Indonesia. “Defisit tidak bisa diselesaikan dengan sim salabim,” kata Hendri menambahkan.

Purbaya mengingatkan, strategi menjaga defi sit dalam jangka pendek yang diperagakan dalam dua tahun terakhir terbukti tidak berhasil dan malah mengebiri pertumbuhan ekonomi. Ia merujuk pada kebijakan moneter ketat yang dilaksanakan BI yang salah satunya diwujudkan melalui kebijakan suku bunga, BI rate.

Likuiditas perbankan mengetat dan membuat para bankir berebut dana mahal milik masyarakat. Alhasil, kredit perbankan melambat dengan suku bunga yang berada di level tinggi. “Kalau hanya mengejar perbaikan neraca perdagangan dalam jangka pendek, akibatnya seperti sekarang. Ekonominya melambat sementara perbaikan struktur ekonomi juga tidak dijalankan,” ujar Purbaya.

BI sendiri memperkirakan normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve akan dilakukan lebih awal, pada kuartal II–2015. Indikasinya, berbagai data ekonomi AS menunjukkan sinyal ekonomi yang tumbuh.

Contoh, klaim pengangguran yang diumumkan 9 Oktober 2014 tercatat sebanyak 287.000 orang, lebih rendah ketimbang ekspektasi sebelumnya. Meski begitu, penjualan ritel di AS yang disampaikan 15 Oktober 2014 tercatat minus 0,3% daripada bulan sebelumnya.

Kebijakan tersebut diyakini akan diikuti dengan berakhirnya era suku bunga murah di negeri Uwak Sam. Saat ini, suku bunga The Fed (The Fed fund rate) dipertahankan di 0%–0,25%. Nah, BI memproyeksikan bunga The Fed bakal dikerek menjadi 1,375% akhir 2015. BI mengantisipasi langkah The Fed dengan mempertahankan BI rate di 7,5%. Kebijakan moneter yang ketat akan berlanjut jika normalisasi kebijakan The Fed jadi dilaksanakan.

Ketergantungan impor yang tinggi

Terlepas dari kebijakan BI itu, ketergantungan terhadap impor yang terlalu tinggi memang pekerjaan yang membutuhkan waktu. Ambil contoh, soal neraca ekspor-impor migas. Dari sisi produksi, dalam beberapa tahun terakhir lifting alias produksi minyak Indonesia siap-jual terus merosot. Akibatnya, ekspor minyak mentah negara kita terusterusan berada dalam tekanan.

Di sisi konsumsi, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) kian melonjak, seiring laju industri otomotif yang tidak dibarengi penyediaan transportasi massal. Masalahnya adalah, kita masih harus mengimpor BBM. Upaya pemerintah menarik investor untuk membangun kilang sampai saat ini masih bertepuk sebelah tangan.

Senada, upaya memperbaiki neraca perdagangan nonmigas juga bukan barang gampang. Di sisi impor, salah satu pokok persoalannya ada di industri nasional yang belum mandiri lantaran masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Ini bisa terlihat dari peran impor bahan baku dan penolong terhadap total impor nonmigas yang lebih dari 76%.

Yang paling sering disinggung ialah industri farmasi yang masih harus mengimpor 95% bahan baku obat. Lalu, ada bahan baku impor di sektor industri kosmetika, yang menurut Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk Putri Kuswisnu Wardani, porsinya mencapai 30%–40%. Belum lagi impor plastik, bahan kimia, besi dan baja, serta kendaraan bermotor dan komponennya, yang nilai impornya signifikan dalam menggoyang neraca dagang Indonesia.

Lana Soelistianingsih, ekonom UI lainnya, menuturkan, masih sulit membangun industri manufaktur termasuk industri bahan baku yang murah dan efi sien. Salah satunya gara-gara praktik ekonomi biaya tinggi masih menjadi beban yang belum bisa dielakkan juga.

Di antaranya tingginya biaya logistik dan pungutan liar atawa pungli yang masih marak mendorong biaya ekonomi yang tinggi. Akibatnya, harga barang sektor manufaktur menjadi kurang bersaing. “Sepatu merek Nike yang diekspor dari Indonesia, harganya lebih mahal dibanding Nike yang diekspor dari Vietnam dan Thailand. Kalau diekspor Nike buatan indonesia tidak menjadi pilihan,” ujar Lana mencontohkan.

Meski begitu, Lana meminta pemerintah agar upaya membangun industri bahan baku dan barang modal harus dikerjakan. Memang terlambat, tapi sama sekali tidak akan sia-sia. Sejatinya, upaya membangun industri bahan baku sejatinya sudah dirintis pemerintah saat ini.

Di sektor farmasi, Catatan Tabloid KONTAN, Kimia Farma akan mengoperasikan pabrik garam farmasi paling lambat awal kuartal II–2015. Di tahun pertama pabrik tersebut beroperasi bisa memproduksi 3.000 ton garam farmasi, atau setengah dari kebutuhan garam farmasi dalam negeri. Upaya seperti ini memang belum cukup memitigasi beban impor. Namun, awal yang baik dan bisa dilanjutkan untuk lepas dari jeratan defi sit neraca perdagangan yang membelenggu.

Diperparah oleh liberalisasi

Ketergantungan terhadap barang impor makin menjadi seiring ekonomi yang bertumbuh. Sekadar mengingatkan, lebih dari separo pertumbuhan ekonomi Indonesia disumbang konsumsi rumahtangga. Nah, saat tingkat ekonomi masyarakat meningkat, kebutuhan tas produk pun ikut bertambah. “Lewat liberalisasi perdagangan, kita diminta untuk membuka keran impor yang lebih besar. Ini berakumulasi terhadap makin tingginya ketergantungan atas impor,” kata Lana.

Dan, defisit neraca perdagangan menjadi pekerjaan rumah lain Presiden Joko Widodo (Jokowi). Eko Putro Sandjojo, Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, menyatakan, pihaknya menyadari selama ini barang impor terlalu gampang masuk ke Indonesia. Saat ini, rata-rata tarif bea impor Indonesia malah lebih rendah ketimbang negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) lebih besar dari negara kita, seperti China, Brasil, Korea Selatan, atau Jepang. “Rata-rata tarif impor kita jauh lebih kecil dari mereka; China cuma 7%. Produk agrikultur Jepang yang merupakan negara maju pun rata-rata tarif bea masuknya 7%,” kata Eko.

Untuk menyiasatinya, Pemerintahan Jokowi bakal mendorong laju investasi, terutama investasi di industri manufaktur. Selain mempermudah perizinan, berbagai infrastruktur penunjang akan didorong. Salah satunya dengan melanjutkan proyek Pembangkit Listrik 10.000 megawatt (MW). “Bisa busuk semua stok kalau listrik tak mencukupi,” ujar Eko.

Arif Budimanta, anggota Kelompok Kerja APBN Tim Transisi Jokowi-JK, menambahkan, langkah ini tidak hanya akan membuat industri nasional lebih sehat. Tapi juga berdampak positif bagi upaya perbaikan neraca transaksi berjalan.

Hendri menyambut baik rencana tersebut. Ketimbang terpaku pada komoditas primer, ia menyarankan Jokowi fokus membenahi barang ekspor nonkomoditas primer. Habis, saat ini porsinya terhadap neraca ekspor sekitar 35%. Salah satunya adalah industri tekstil.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari–Agustus 2014 nilai ekspor pakaian jadi bukan rajutan mencapai US$ 2,67 miliar, hanya naik 0,08% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ekspor yang menipis, nilai ekspor Agustus anjlok 27,36% menjadi hanya US$ 275 juta dari posisi Juli.

Dari sisi impor, Hendri memberi saran, agar Jokowi mensubstitusi barang yang selama ini diimpor dengan memproduksinya di dalam negeri. Caranya, ya, dengan memberikan dukungan melalui kebijakan fiskal yang bisa memberikan pasar bagi produk lokal. “Bawang putih saja 90% kita masih mengimpor. Memangnya kita tidak bisa memproduksi sendiri?” protes Hendri.

Tak perlu instan yang penting lebih aman.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 04 - XIX, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×