kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Akan ada instrumen pembiayaan infrastruktur anyar


Minggu, 08 Oktober 2017 / 16:01 WIB
Akan ada instrumen pembiayaan infrastruktur anyar


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tengah menyiapkan instrumen pembiayaan baru bagi proyek infrastruktur dari sekuritisasi pendapatan (income) suatu perusahaan di pasar modal.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, instrumen ini untuk melengkapi dua skema sekuritisasi saat ini, yaitu Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Efek Beragunan Aset (EBA) dan KIK Dana Investasi Real Estate (DIRE).

Kedua instrumen itu masih dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), namun untuk instrumen yang baru ini tidak perlu berurusan dengan BPHTB.

"Sudah ada KIK DIRE dan KIK EBA. Ada satu lagi sebenarnya, KIK DIRE tapi bukan yang EBA. Yang disekuritisasi income-nya. Ke depan, tidak perlu berurusan dengan BPHTB segala macam," katanya di Gedung BI akhir pekan lalu.

Saat ini instrumen tersebut masih dalam tahap kajian bersama BI. Namun, nantinya sekuritisasi income ini akan diterapkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Direktur PT Ciptadana Asset Management Irvin Patmadiwiria mengatakan, KIK seperti ini bisa juga disebut KIK Dana Investasi Infrastruktur. Namun, secara prinsip sama dengan KIK DIRE.

“Sama konsepnya dengan DIRE, di luar negeri, jalan tol dan pelabuhan termasuk dalam DIRE karena definisi properti bukan hanya perumahan,” katanya kepada KONTAN, Minggu (8/10).

Menurut Irvin, dengan instrumen apapun, baik EBA, DIRE, maupun instrumen yang tengah disiapkan ini, yang perlu diperhatikan ialah seberapa menarik kuponnya dan seberapa aman instrumen ini. “Risikonya bagaimana dan menarik tidak? Kalau KIK jenis ini diberi yield 10% ya menarik,” kata Irvin.

Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga menyarankan, untuk instrumen semacam ini, pemerintah perlu memiliki standing buyer. Pasalnya, minat terhadap instrumen seperti ini kemungkinan tidak sebesar instrumen investasi lainnya yang ada di pasar modal.

Menurut Desmon, ada beberapa kendala dari produk seperti ini. Pertama, dari sisi return-nya. Di pasar modal, banyak produk lainnya yang menawarkan kupon lebih tinggi, misalnya reksadana saham atau saham yang return-nya bisa 12% hingga 14%.

“Produk sekuritisasi aset JSMR kemarin contohnya, kuponnya 8%-9%. Banyak lainnya yang lebih besar. Pasti mereka bandingkan,” ujar Desmon.

Kedua, ada kesulitan apabila investor di tengah ingin melakukan penjualan dari instrumen ini karena tidak likuid. Jadi itu kendalanya, manjer investasi juga ragu-ragu mau terbitkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×