Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) punya strategi baru untuk mengerjar penerimaan pajak tahun depan.
Ditjen Pajak akhirnya menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok menjadi sebesar 8,7%.
Tarif baru ini akan berlaku mulai 1 Januari 2016 mendatang. Saat ini, PPN rokok hanya 8,4%.
Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau.
Dalam aturan tersebut, besaran PPN yang dipungut yaitu sebesar 8,7% dikalikan dengan harga jual eceran (HJE) tembakau untuk penjualan rokok, atau HJE untuk jenis dan merk yang sama yang dijual untuk umum setelah dikurangi laba bruto untuk penyerahan rokok yang diberikan secara cuma-cuma.
Adapun PPN 8,7% dikenakan atas hasil penyerahan rokok yang dibuat di dalam negeri oleh produsen atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir.
Pajak ini PPN juga hanya dikenakan satu kali pada tingkat produsen atau importir walau penyerahannya dilakukan mulai dari tingkat produsen atau importir, pengusaha penyalur, hingga konsumen akhir.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Mekar Satria Utama menjelaskan, kenaikan tarif PPN tersebut memang merupakan bagian dari rencana pemerintah dalam beberapa tahun ke depan.
Bahkan berdasarkan roadmap, pemerintah berencana menaikkan tari efektif PPN secara bertahap.
"Kami mau naikkannya jadi 9,1%," kata Mekar saat dihubungi, Selasa (29/9).
Lebih lanjut menurut Mekar, kenaikan tarif hingga 9,1% tersebut ditargetkan dalam jangka waktu dua tahun ke depan.
Artinya, tahun 2018 mendatang, tarif PPN rokok menjadi sebesar 9,1%. Namun lanjut dia, kenaikan tersebut akan dilakukan secara bertahap.
Adapun rencana kenaikan tarif PPN sebenarnya telah menjadi rencana Ditjen Pajak pada awal tahun 2015. Saat itu, ororitas pajak menginginkan PPN rokok diubah menjadi PPN murni sebesar 10%.
Namun, rencana ini tertunda lantaran banyaknya protes yang timbul dari kalangan usaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News