Reporter: Arsy Ani Sucianingsih | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam RUU atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorismen terdapat banyak penambahan substansi. Hal ini untuk menguatkan pengaturan yang sudah ada dalam UU sebelumnya.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Muhammad Syafi’i mengatakan, terdapat empat aspek yang dilakukan perubahan, penghapusan, hingga penambahan.
Adanya perubahan esensi ini memungkinkan UU ini mengatur tentang terorisme secara komprehensif. Tidak hanya bicara soal pemberantasan, tapi juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan.
Aspek pertama, yakni terkait pembahasan dan sistematika RUU. Dalam UU yang baru, telah ditambahkan ketentuan mengenai definisi terorisme, yang tercantum pada pasal 1.
“Definsi terorisme merupakan pencapaian besar hasil kerja pansus tindak pidana terorisme, yang dirumuskan melalui mekanisme musyawarah mufakat,” ujar Syafi'i saat rapat paripurna di Gedung DPR, Jumat (25/5).
Disepakati, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, dan dapat menimbulkan korban yang bersifat masal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada objek vital yang strategis, lingkungan hidup fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.
Dalam aspek pertama ini juga ada perubahan cukup besar, yaitu menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan, kemudian soal Peran TNI. Semua ini baru dan tidak ada dari undang-undang sebelumnya.
Masih dalam aspek yang sama, rapat juga memperjelas penafsiran delik-delik yang berpotensi multitafsir. “Hal ini sesuai dengan Prinsip-prinsip umum hukum pidana dan statuta roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, dimana menyatakan bahwa defisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi,” kata Syafi'i.
Aspek kedua, yaitu terkait penindakan. Ada beberapa poin yang dihapus, seperti sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan pada Pasal 12B, menghapus Pasal ‘Guantanamo’ yang bisa menenempatkan seseorang di tempat dan lokasi tertentu selama 6 bulan untuk pencegahan yang semula diatur pada Pasal 43A.
Dalam aspek ini ditambahkan ketentuan, dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus dilakukan dengan menjungjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Terduga harus diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam, dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia. Selain itu, ditambahkan ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan.
Selain itu, tindakan pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat diekstradisi. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU no 5 tahun 2006 tentang Pengesahan Konferensi Internasional, Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris.
Aspek korban
Aspek ketiga yakni, terkait perlindungan dan pemulihan korban, dimana ditambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, dan pemberian hak-hak korban. Semula pada UU 15 tahun 2003 hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja.
Kini UU baru telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi. Selain itu, mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU ini disahkan.
“Jadi, semua korban peristiwa teroris sebelum UU disahkan, harus dapat perhatian dari pemerintah kita dan wajib di berikan pelayanan,” imbuh Syafi'i.
Aspek keempat, terkait pencegahan dan kelembagaan di mana ada tambahan pencegahan. Dalam konteks ini pencegahan terdiri dari kesiap siagaan nasional, kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Sedangkan terkait kelembagaan, diatur tugas dan fungsi dan kewenangan badan nasional penanggulangan teroris.
Lalu terkahir, UU ini menambah ketentuan peran TNI. Pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan presiden. Selain itu, akan ada pengawasan yang anggotanya juga dari DPR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News