Sumber: Antara | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pembahasan revisi UU Migas harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan asing.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengatakan, sudah saatnya mengembalikan kuasa pengelolaan pengusahaan migas kepada Pertamina, sebagai representasi negara.
Berbicara pada sarasehan bertajuk, "Merebut Ketahanan Energi", Marwan menegaskan, kedaulatan dan ketahanan memang harus ditegakkan.
Faktanya, kedaulatan energi dalam negeri saat ini belum optimal, karena UU Nomor UU 22 Tahun 2001 tentang Migas sangat liberal dan berpihak pada kepentingan asing.
"Untuk itu, jika ingin mengembalikan kedaulatan energi, maka yang harus diperbaiki adalah melalui perubahan UU Migas. Terutama dalam hal pengelolaan migas, yang harus di tangan BUMN, yaitu Pertamina. Dengan demikian, tidak perlu lagi membentuk BUMN Khusus," katanya, Selasa (15/3).
Terkait hal itu, menurut dia, maka wacana menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus memang harus dihilangkan, sebab, keberadaan badan usaha khusus tersebut akan menjadikan pengelolaan migas menjadi tidak efisien.
"Sedangkan keberadaan SKK Migas, harus digabungkan ke dalam Pertamina," katanya.
Dalam konteks penguasaan oleh negara, lanjut Marwan, RUU Migas harus menegaskan bahwa aset cadangan terbukti, seharusnya menjadi aset Pertamina.
Dengan monetisasi aset yang dilakukan Pertamina, maka aset tersebut bisa dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai konstitusi.
"Tidak seperti sekarang, malah asing yang begitu dominan dan menguasai, sedangkan Pertamina hanya sekitar 20% saja. Padahal di berbagai negara, national oil company (NOC) mereka yang dominan menguasai," kata dia.
Pembicara lain, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Profesor Juajir Sumardi, mengingatkan agar DPR mendengarkan aspirasi rakyat dalam membahas RUU Migas.
Sebab, tambahnya, sesuai konstitusi, rakyat adalah stakeholder karena penguasaan migas harus dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
"Rakyat punya hak untuk mengembalikan hakikat kedaulatan negara kepada Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang punya pengelolaan hak penguasaan migas. DPR harus memperhatikan hal itu," katanya.
DPR harus sadar, bahwa amanah konstitusi tersebut, saat ini tidak tercapai, pasalnya, berdasarkan UU Migas yang berlaku saat ini, Pertamina tidak lagi diberi kuasa pertambangan secara monopoli.
Yang terjadi, lanjutnya, kuasa pertambangan justru diberikan kepada siapa saja yang berminat untuk mengelola dan mengeksplorasi sehingga terjadilah liberalisasi.
Akibatnya, imbuh Juajir, penguasaan pengusahaan minyak didominasi oleh asing yang mana saat ini, kurang lebih 85 persen proses produksi migas di Indonesia, dikuasai asing.
"Ini terjadi akibat kesalahan dalam mendesain ketentuan hukum yang berlaku. Diharapkan, kesalahan ini tidak terulang kembali dalam pembahasan RUU Migas saat ini," kata dia.
Dominasi asing yang begitu besar memang sangat berbahaya bagi ketahanan dan kedaulatan energi. Bahkan Juajir melihat, saat ini banyak perusahaan asing yang memagari kepentingan mereka.
Dengan pemagaran tersebut, maka pemerintah tidak bisa mengontrol proses produksi yang dilakukan perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News