kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ditjen Pajak akan revisi aturan transfer pricing


Selasa, 31 Januari 2017 / 15:50 WIB
Ditjen Pajak akan revisi aturan transfer pricing


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Karena tidak sinkron dengan aturan sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyempurnakan beleid terkait dengan dokumentasi transfer pricing. Penyesuaian tersebut akan diberlakukan pada Perdirjen Pajak No. PER-32/PJ/2011.

Asal tahu saja, pada Januari lalu Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan aturan baru soal transfer pricing dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) 213. Dengan terbitnya beleid ini, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan bahwa PER-32 yang sudah ada sebelumnya harus disempurnakan.

Hal ini karena kedua beleid tersebut mengatur hal yang sama, yaitu transfer pricing namun substansinya berbeda. Dengan demikian, demi menyempurnakan aturan terkait transfer pricing, DJP tengah dalam pembahasan internal untuk nantinya mengeluarkan Perdirjen baru yang merujuk kepada PMK 213 yang lebih terkini.

“Masih proses pembahasan, dan biasanya dilakukan bertahap dan berjenjang,” kata John kepada KONTAN, Senin (31/1)

John mengatakan, detil yang akan disempurnakan nanti di Perdirjen yang baru adalah mengenai prinsip kewajaran harga. “Yang diatur mengenai hal-hal yang terkait dengan prinsip kewajaran harga dalam hubungan istimewa,” ujarnya.

Namun demikian, sementara ini belum ada konsentrasi dari DJP untuk mengatur transaksi transfer pricing yang diperbolehkan. “Prioritas pada 4 minimum standards. Namun rekomendasi aksi-12 juga disiapkan tapi untuk sementara fokus pada 4 minimum standards,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa transfer pricing adalah salah satu ranah penting dalam perpajakan dan perlu diatur agar tidak terjadi aggresive tax avoidance yang merugikan.

Sebelum PMK 213 keluar, selama ini Indonesia baru memiliki guideline PER-32/2011 yang belum cukup kuat mengatur kewajiban dokumentasi. Namun, menurut Yustinus ada permasalahan ada tumpang tindih kebijakan karena selama ini PER-32/2011 sebagai guidelines belum dicabut,

“Perlu PMK guidelines untuk transfer pricing. Karena yang ada sekarang masih regulasi. Dan PER-32 sebaiknya diganti PMK ini. Beberapa hal, misalnya threshold diubah oleh PMK, dan PMK tidak secara tegas mengatakan mencabut PER atau ketentuan yang bertentangan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×