kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BPJS Watch meminta penghapusan pajak progresif


Senin, 07 September 2015 / 12:24 WIB
BPJS Watch meminta penghapusan pajak progresif


Reporter: Dina Farisah | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Watch mendesak pemerintah merevisi pasal 5 PP nomor 68/2009 dan pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 16/2010.

BPJS Watch meminta penghapusan pajak progresif.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch menjelaskan, dana Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan tabungan pekerja yang disishkan tiap bulannya dari upah yang diterima (yang ditabung oleh pekerja sebesar 2% dan pengusaha 3.7%) untuk menjamin masa tua pekerja.

Dana JHT ini juga dapat digunakan ketika pekerja mengalami PHK yang sulit mendapatkan pesangon ataupun pekerjaan baru.

Oleh karena itu status dana JHT adalah dana tabungan dan bukan penghasilan pekerja seperti upah.

Namun Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibayarkan sekaligus, memposisikan dana JHT sebagai penghasilan pekerja sehingga Dana JHT yang ditabung pekerja dan pengusaha tersebut ketika akan diambil oleh pekerja dikenakan pajak progresif.

Berdasarkan pasal 5 PP No.68/2009 dan pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 16/2010, formula tarif PPh Pasal 21 atas berupa Jaminan Hari Tua (JHT), dikelompokkan menjadi dua.

Pertama, pekerja bebas pajak atau pajak nol persen apabila penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000. Kedua, pengenaan pajak 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000.

Menurut Timboel, pendefinisian dana JHT sebagai penghasilan adalah tidak tepat. Dana JHT adalah dana tabungan pekerja dan pengusaha yang ditempatkan di BPJS Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu tidak tepat bila dana JHT diposisikan sebagai obyek Pajak seperti yang diatur pada Pasal 5 PP Nomor 68/2009 dan pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 16/2010.

Selain itu, dana JHT yang ditempatkan di BPJS Ketenagakerjaan tersebut dikelola dan diinvestasikan di berbagai instrument investasi yang menghasilkan imbal hasil (yield). Tentunya imbal hasil dari hasil investasi tersebut sudah dikenakan pajak.

"Jika Dana JHT yang diambil pekerja dikenakan pajak lagi maka terjadi pengenaan pajak dua kali (double tax) terhadap Dana JHT. Bahwa selain itu pengenaan pajak tersebut dikenakan dari seluruh dana JHT yaitu dana pokok dan imbal hasilnya. Seharusnya pengenaan pajak tersebut hanya sekali saja yaitu pada dana imbal hasil saja, tidak ikut pokoknya. Ini tidak adil bagi pekerja," protes Timboel.

Pihaknya juga menyoroti penarikan dana JHT yang merupakan cara terakhir bagi pekerja untuk mempertahankannya hidupnya beserta keluarga di masa-masa sulit. Misalnya pekerja mengalami PHK, pensiun, meninggal dunia atau cacat total.

Oleh karena itu bila dana JHT yang diambil pekerja harus dikenakan pajak lagi maka pemerintah telah mempersulit dan mengurangi kesempatan pekerja untuk bisa hidup sejahtera.

"Kami mendesak pemerintah merevisi PP No.68/2009 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 16/2010 dengan mengeluarkan dana JHT sebagai obyek pajak, sehingga dana JHT yang merupakan tabungan pekerja sepenuhnya dapat diterima oleh pekerja tanpa lagi ada pemotongan," pintanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×