kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,70   -13,79   -1.49%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bambang Suwerda, mengolah sampah lewat bank sampah


Jumat, 08 Oktober 2010 / 10:08 WIB
Bambang Suwerda, mengolah sampah lewat bank sampah
ILUSTRASI. PT Pertamina Gas


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi

Namanya juga bank sampah, lingkup layanannya di bidang pengelolaan sampah. Sampah yang lazim kita buang tampak berharga dan bisa menghasilkan uang di bank ini. Para nasabahnya bisa menabung sampah dan mendapatkan uang di kemudian hari.

Pencetus ide bank sampah ini adalah Bambang Suwerda. Dua tahun lalu, dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta ini bersama masyarakat Desa Badegan merintis bank ini. "Sebenarnya kami merencanakan tahun 2007, tapi karena masih fokus pada rekonstruksi pascagempa, baru terealisasikan pada 2008," ungkap Bambang.

Di bank sampah Gemah Ripah, masyarakat Desa Badegan mengumpulkan tiga jenis sampah, yaitu sampah plastik, sampah kertas, serta sampah kaleng dan botol. Awalnya, hanya masyarakat Badegan yang menabung sampah di sana. Namun, lambat-laun masyarakat di luar wilayah pun turut serta menabung di Gemah Ripah.

Bahkan, saat ini pengelola sekolah dan perkantoran menjadi nasabah bank sampah ini. "Sekarang total nasabah sudah mencapai 230 kepala keluarga," kata Bambang.

Sama seperti bank umum, bank sampah juga memiliki slip setoran, kopian untuk nasabah dan pengelola, serta catatan buku induk. Catatan ini juga berguna untuk mengecek harga sampah yang dijual ke pengepul.

Ada dua jenis golongan nasabah. Pertama, nasabah individu yang biasanya merupakan satu keluarga. Kedua, nasabah komunal. Nasabah komunal ini biasanya merupakan satu warga dalam lingkup satu Rukun Tetangga (RT).

Bank sampah menempatkan tempat sampah yang sudah terpilah tiga bagian. Petugas tinggal mengambil dan membawanya ke bank sampah. Bank sampah memanfaatkan jasa tukang becak sebagai petugas pengambil sampah.

Di Desa Badegan, Bantul, Yogyakarta, ada bank bernama Gemah Ripah. Mungkin nama tersebut masih sangat asing terdengar di telinga Anda. Memang, ini bukan bank yang lazim beroperasi di bawah pengawasan Bank Indonesia, dan tak pernah mengalami masalah kekeringan likuiditas. Ini adalah bank sampah yang dirintis Bambang Suwerda.

Sampah yang masih berguna dipilah untuk bahan kerajinan. Ada kelompok kerja ibu-ibu yang membuat kerajinan dari barang-barang bekas. Tentu saja, hasil pengolahan sampah ini memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan sampah biasa.

Sampah yang tidak bisa dibuat kerajinan akan dijual kepada pengumpul. Dalam sebulan, bakal ada pengumpul yang membeli sampah-sampah ini.

Dana hasil 'panen' sampah itu setiap bulannya dibagi dengan sistem bagi hasil. Untuk nasabah komunal, persentase bagi hasilnya 70:30, yaitu, sebanyak 70% untuk bank sampah karena harus menyediakan tenaga pengumpul sampah, dan 30% untuk kas RT.

Bgai nasabah individu, porsi bagi hasilnya sebesar 85:15. Yaitu, sebanyak 85% masuk ke rekening nasabah dan 15% masuk ke dalam kas bank sampah. Uang kas hasil penjualan sampah ini, berikut penjualan kerajinan dari sampah inilah menjadi ongkos operasional sehari-hari bank sampah.

Selama ini, para pekerja di bank sampah, yang berjumlah 10 orang, bekerja secara sukarela. Maklum, dana bagi hasilnya belum terlalu banyak. "Targetnya kami akan ada penggajian per bulan untuk uang lelah," kata Bambang.

Meski terus meningkat, total dana panen sampah saban bulannya hingga kini memang belum besar. "Per bulannya total sekitar Rp 500.000," kata Bambang. Sebab, harga jual sampah tergolong murah.

Demi transparansi, harga sampah ini diumumkan secara rutin dan ditempel di papan pengumuman. Harga sampah ditentukan oleh pengepul sesuai harga pasaran pada saat itu.

Supaya pengumpulan dana lebih maksimal, bank sampah membatasi pengambilan uang hanya bisa dilakukan tiga bulan sekali. "Tapi kebanyakan menahannya hingga datangnya Lebaran," kata Bambang. Tak heran, bank sampah ini kewalahan memenuhi permintaan pengambilan dana saat momen besar itu tiba.

Hingga kini, dana hasil penjualan sampah masih dikelola sendiri. Bambang bilang, dana ini bakal dipakai untuk simpan pinjam. Saat ini manajemen bank sampah sedang mensosialisasikan wacana ini kepada para nasabah. "Rencana ini perlu juga dipikir matang-matang, terutama soal ketertiban angsuran nantinya," katanya.

Selain pengumpulan dana, pelaksanaan bank sampah ini juga membuat lingkungan makin bersih, pembakaran sampah oleh warga berkurang, dan tempat pembuangan akhir liar pun berkurang. "Konsep bank sampah ini sudah diterapkan di 15 lokasi di Yogyakarta," kata Bambang, yang meraih penghargaan Indonesia Berprestasi Award 2009 kategori sosial kemasyarakatan. Dia juga meraih Kalpataru Kabupaten Bantul kategori Perintis Lingkungan, dan nominator Kick Andy Heroes 2009 kategori lingkungan.

Beberapa tempat di Jawa Tengah sudah mulai menggunakan konsep bank sampah. Misalnya, di Pekalongan. Bambang telah mensosialisasi konsep bank sampah ini hingga ke Padang. "Saya senang kalau ilmu ini bisa diterapkan di tempat lain," katanya.

Bank sampah Badegan ini terus mengembangkan diri. Setelah menerima simpanan sampah plastik dan kaleng, bank sampah berniat menerima pula sampah basah dan organik. Misalnya sisa makanan atau daun tumbuhan. Namun, niat ini masih terkendala jaringan pengelola kompos.

Saat ini, pengelolaan sampah basah baru dalam tahap rumahtangga. Beberapa rumah membuat lubang di tanah untuk menimbun sampah-sampah organik ini. "Kami akan mengembangkan setahap demi tahap karena ini juga mempertimbangkan masalah pendanaan," ujarnya.

Yang pasti, tahun depan, bank sampah berencana menjadi sebuah badan hukum sehingga mempermudah usahanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×