kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini saran akademisi guna perbaikan JKN


Kamis, 17 November 2016 / 17:26 WIB
Ini saran akademisi guna perbaikan JKN


Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto

Yogyakarta. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih membutuhkan perbaikan. Hampir tiga tahun berjalan, implementasi program ini masih banyak kendala. Kajian dari beberapa akademisi menunjukkan perlunya terobosan kebijakan agar program ini dapat berjalan secara berkelanjutan.

Beberapa poin dari hasil penelitian yang dilakukan sejumlah universitas menyasar pada sektor pelayanan di fasilititas kesehatan (faskes) tingkat pertama, faskes rujukan tingkat lanjutan, kepesertaan, kualitas pelayanan, sistem informasi dan Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs).

Kepala Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) dari Universitas Indonesia (UI) Budi Hidayat mengatakan, skema pembiayaan JKN menggunakan formula INA-CBGs perlu diiringi dengan pengawasan yang ketat. Pasalnya, selama ini masih ada kecurangan-kecurangan yang dilakukan pihak Rumah Sakit atau pasien.

Bentuk kecurangan yang terjadi itu antara lain, pihak RS mengklaim biaya perawatan lebih dari tingkatan yang diberikan kepada pasien. Ada juga pemulangan pasien yang belum sembuh untuk kemudian didaftarkan kembali agar tidak melebihi kuota pembiayaan yang ditanggung dalam INA-CBGs.

Penolakan oleh pihak RS terhadap pasien dengan penyakit kronis yang ingin berobat juga kerap terjadi. Pasalnya, bila dilakukan penanganan terhadap pasien tersebut akan membebani dan merugikan RS. "Penerapan INA-CBGs perlu dikontrol agar tidak terjadi malapetaka," kata Budi, Kamis (17/11).

Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan aplikasi untuk menskrining kasus-kasus rujukan serta mendetaksi indikasi negatif INA-CBGs. Perlu adanya regulasi untuk melakukan audit medis dengan pendekatan spot check atau pemeriksaan berkas-berkas pasien yang sudah pulang dari RS secara tiba-tiba.

Pengajar sekaligus peneliti bidang kesehatan dari Universitas Gajahmada Yulia Hendrartini mengatakan, dari hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bila semakin banyak jumlah peserta dalam satu faskes tingkat pertama, maka semakin lama waktu tunggunya. Sehingga rasio untuk dirujuk semakin tinggi.

Selain itu, banyaknya rujukan yang dilakukan oleh faskes tidak luput dari kurangnya alat medis, kurangnya ketersediaan obat, karena permintaan pasien, serta perilaku dokter spesialis di RS yang tidak mengembalikan pasien rujuk balik ke faskes tingkat pertama.

Pengajar sekaligus peneliti bidang kesehatan dari Universitas Udayana Ni Made Sri Nopiyani mengatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan di Denpasar angka kepatuhan pembayaran iuran peserta JKN non Penerima Bantuan Iuran (PBI) masih cukup tinggi.

Faktor-faktor yang menghambat kepatuhan itu antara lain karena ketidakpuasan peserta terhadap kualitas layanan kesehatan yang diterima dengan menggunakan BPJS. Tidak adanya pemberitahuan terkait pembayaran iuran, serta sistem yang sering bermasalah.

Oleh karena itu, perlu peningkatan sosialisasi menganai alternatif cara pembayaran iuran JKN, cara pengecekan status pembayaran iuran dan konsekuensi dari keterlambatan pembayaran iuranmelalui media yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mundiharno mengatakan, pihaknya menilai positif hasil kajian yang dilakukan oleh para peneliti tersebut. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mendorong dan membuat perbaikan terhadap program JKN ke depannya.

Mudiharno mengatakan, di berbagai negara, proses pengambilan kebijakan di sektor kesehatan dilakukan berdasarkan kajian bukti yang tepat (evidence base policy making). "Usulan-usulan penelitian terutama dari akademisi yang berdampak terhadap perbaikan dan keberlangsungan program JKN," ujar Mudiharno.

Program kader JKN

Guna meningkatkan jumlah kepesertaan khususnya dari sektor pekerja informal, BPJS Kesehatan kembangkan program kader JKN. Kader JKN ini akan bertugas untuk melakukan fasilitasi bagi masyarakat yang ingin mendaftar program JKN.

Selain itu, kader JKN juga bertugas melakukan kolektibilitas atau jemput bola bagi peserta yang akan mengiur. Kader JKN juga berperan aktif dalam pendampingan terhadap masyarakat agar tercipta penganan kesehatan secara promotif dan preventif.

Sebagai pilot project, program kader JKN ini sudah mulai dilakukan pada awal Oktober lalu. Saat ini setidaknya sudah ada sekitar 1.000 orang kader JKN yang telah turun ke lapangan untuk melakukan tugasnya. "Kader JKN ini juga mendapat pelatihan," kata Mudiharno.

Mudiharno menambahkan, program kader JKN ini sebenarnya merupakan pengambangan dari yang dilakukan di Jepang. Di negari sakura tersebut, skema kader JKN ini telah berhasil menggaet kepesertaan pekerja informal dari program jaminan sosial hingga 100%.

Sekadar catatan, saat ini jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan mencapai 170,6 juta orang. Dari jumlah tersebut, peserta bukan penerima upah (PBPU) pekerja mandiri jumlahnya 18,6 juta orang dan bukan pekerja sebanyak 5,04 juta orang. Sisanya berasal dari PBI dan Pekerja Penerima Upah (PPU).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×