kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Daerah pengusung paslon tunggal di pilkada bertambah


Selasa, 16 Januari 2018 / 22:28 WIB
Daerah pengusung paslon tunggal di pilkada bertambah
ILUSTRASI. Dokumen Partai Calon Peserta Pemilu 2017


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga pukul 12:00, Selasa (16/1) Komisioner KPU Ilham Saputra belum juga menerima pendaftaran pasangan calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 lainnya.

"Belum ada lagi yang mendaftar, kami juga sedang menunggu," balas pesan pendek Ilham kepada KONTAN, Selasa (16/1).

Padahal Selasa (16/1) tengah malam pukul 24:00 adalah batas terakhir pendaftaran paslon.

Sedianya pendaftaran pasangan calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 berakhir pada 10 Januari lalu. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang tenggatnya hingga Selasa (16/1). Alasannya, ada 13 daerah pemilihan yang hanya miliki satu paslon.

Ketigabelas daerah tersebut adalah Kab. Tangerang, Kab. Karanganyar, Kab. Lebak, Kab. Pasuruan, Kab. Tapin, Kab. Mamasa, Kab. Enrekang, Kab. Puncak, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Jayawijaya, Kab. Minahasa Utara, Kota Tangerang, dan Kota Prabumulih.

Jumlah paslon tunggal dalam Pilkada 2018 juga meningkat dibandingkan Pilkada sebelumnya.

Pada Pilkada 2015 hanya ada tiga paslon tunggal dari total 269 daerah yaitu Kab. Tasikmalaya, Kab. Blitar, dan Kab. Timor Tengah Utara. Sementara pada Pilkada 2017 ada sembilan paslon tunggal di 101 daerah yaitu Kab. Buton, Kab. Landak, Kab. Pati, Kab. Tambrauw, Kab. Tulang Bawang Barat, Kab. Maluku Tengah, Kota Sorong, Kota Tebing Tinggi, dan Kota Jayapura.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono juga cukup heran dengan fenomena ini. Sebab kemunculan paslon tunggal justru terjadi di daerah dengan Daerah Pemilihan (Dapil) gemuk dan pemilih yang melimpah.

Di Provinsi Banten misalnya, ada tiga paslon tunggal dari total empat Pilkada yang akan digelar. Anehnya, jika didasarkan dari Data Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Gubernur (Pilgub) Banten 2017, dari empat daerah tersebut, DPT terkecil justru dimiliki oleh Kota Serang yang akan jadi arena bertarung tiga paslon.

Pada Pilgub Banten 2017, DPT Kab. Tangerang lebih dari 2.22.286 pemilih, sementara di Kab. Lebak ada 936.428 pemilih, dan di Kota Tangerang ada 1.127.914 pemilih. Sedangkan Kota Serang hanya memiliki 455.291 pemilih.

Dari acuan Pilgub Banten 2017, DPT untuk Pilkada 2018 diperkirakan meningkat 10% hingga 20%.

Ia menilai partai politik di daerah yang miliki paslon tunggal terlalu oportunis dan transaksional. Padahal, menurutnya partai politik harus berperan penting dalam merepresentasikan kepentingan masyarakat di daerahnya.

"Keberadaan Parpol harusnya mengedepankan demokratisasi dan memposisikan diri sebagai instrumen demokrasi," katanya kepada KONTAN di Kantor Kemdagri, Senin (16/1).

Meski demikian Soni menyatakan bahwa hal tersebut tak akan mempengaruhi jumlah partisipasi politik. Ia ambil contoh soal Pilkada 2017 di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Dari total DPT sebanyak 1.034.256 pemiliha, kata Soni hanya 23% yang tidak memilih Haryanto sebagai Bupati Pati dan Wakil Bupayi Saiful Arifin yang akan menjabat 2022.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga sepakat dengan Soni soal anomali paslon tunggal di Pilkada 2018.

Oportunisme partai politik dinilai Titi juga terjadi lantaran mesin partai tak berfungsi baik. Disamping figur petahana yang kembali mencalonkan diri.

"Daripada melawan petahana, dan harus mengeluarkan banyak biaya, mereka berpikir akan lebih baik untuk mengusung si petahana," kata Titi saat dihubungi KONTAN, Selasa (16/1).

Sekadar contoh, Para petahana yang termasuk paslon tunggal dalam Pilkada 2018 adalah Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar, Walikota Prabumulih Ridho Yahya, Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf.

Kedigdayaan petahana ditambah oportunisme partai politik mujarab menghasilkan paslon tunggal. Namun menurut Titi, hal tersebut dapat berkombinasi dengan baik lantaran Pilkada dengan paslon tunggal terjadi di Kabupaten dan Kotamadya.

Kata Titi tak terlalu signifikan sebagai representasi pertarungan partai politik di level nasional. Berbeda konteks dengan level provinsi. Pilkada provinsi kata Titi bisa jadi upaya mengumpulkan kekuatan menjelang Pemilu 2019.

"Fenomena paslon tunggal memang terjadi di kabupaten atau kota, tak mungkin di provinsi, karena di provinsi jadi eksistensi menjelang Pemilu mendatang," lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×