kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sumardjo Gatot I, Dirjen Tanaman Pangan: Kita Harus Percayakan Data Pangan ke BPS


Senin, 10 Desember 2018 / 17:38 WIB
Sumardjo Gatot I, Dirjen Tanaman Pangan: Kita Harus Percayakan Data Pangan ke BPS


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID - Polemik data pangan kembali mencuat beberapa waktu lalu. Kisruh dan perbedaan pendapat ini melibatkan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), Kementerian Perdagangan (Kemdag), dan Kementerian Pertanian (Kemtan).

Selama ini, data Kemtan dan Kemdag soal pangan kerap tak sinkron. Ini yang sempat menyulut perdebatan terbuka antara Kemdag dengan Perum Bulog.

Kemdag menilai, impor beras perlu karena produksi menurun, tapi Bulog justru menilai stok sudah penuh. Di sisi lain, Kemtan mengklaim produksi beras selalu melebihi kebutuhan setiap bulannya.

Pemerintah akhirnya akan menyatukan data produksi dan kebutuhan pangan di Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan begitu, Kemtan dan kementerian lain terkait pangan tidak membuat data sendiri.

Rencana itu seiring dengan niat pemerintah membentuk data tunggal pangan. Nantinya, data tersebut akan jadi acuan semua pihak.

Pembentukan data tunggal pangan juga menjadi usulan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) untuk menghindari perbedaan data yang sering terjadi antarkementerian dan lembaga.

Bagaimana rencana pemerintah menuju data tunggal pangan? Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Pangan Kemtan  Sumardjo Gatot Irianto membeberkannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho, Rabu (31/10) lalu. Berikut nukilannya:

KONTAN: Kenapa data pangan bisa berbeda-beda?
GATOT:
Sebenarnya, tidak bisa dikatakan berbeda juga. Dari dulu, data pangan disediakan BPS. Kenapa? Karena mereka punya satuan kerja (satker) di daerah-daerah juga memiliki kapasitas.

BPS sudah sejak lama menggunakan metode eyes estimate kemudian mengolah dan merilis data pangan. Data itu yang digunakan semua instansi termasuk Kementerian Pertanian.

Nah, sejak 2016, BPS tidak lagi merilis data karena sedang menggunakan dan menyempurnakan metode baru yakni Kerangka Sampel Area (KSA).

Sejak itu, BPS memutuskan tidak mempublikasikan secara resmi. Data yang ada di halaman situs Kemtan, sepenuhnya diambil dari data internal BPS.

KONTAN: Terus, kenapa Kemtan tidak melakukan pengukuran dan penghitungan data pangan sendiri?
GATOT:
Karena memang, fokus kami tidak di situ. Lagipula, sudah diamanatkan oleh pemerintah kepada BPS untuk penghitungan data pangan.

KONTAN: Memang, apa, sih,  KSA dan keunggulannya?

GATOT: KSA didefinisikan sebagai teknik pendekatan penyampelan yang menggunakan area lahan sebagai unit enumerasi. Sistem ini berbasis teknologi sistem informasi geografi (SIG), penginderaan jauh, teknologi informasi, dan statistika.

Intinya, memanfaatkan satelit Landsat-8 untuk memantau data luas tanam dan panen padi secara detail sebaran spasial juga data tabular. Data citra satelit tersebut beresolusi 1 pixel yang setara 30x30 m dan resolusi temporal 16 hari sekali.

Keunggulan KSA adalah lebih praktis, efisien, dan cepat, serta dimutakhirkan setiap 16 hari sekali. Dengan metodologi ini, BPS juga bisa menghitung potensi produksi beras dalam tiga bulan ke depan.

Sebab, data luas panen padi akan terus di-update setiap bulan. BPS pun yakin, perhitungan potensi tiga bulan mendatang juga lebih akurat ketimbang data Angka Ramalan (Aram) yang dulu terus digunakan mereka.

KONTAN: Untuk mengakhiri perbedaan data pangan, apa yang Kemtan lakukan?
GATOT:
Seperti yang saya bilang tadi, publik terlalu membesar-besarkan permasalahan ini. Jangan sampai kita diadu domba antara lembaga dan menciptakan kegaduhan. Semangatnya ke depan: perbaikan.

Yang jelas, saat ini sudah ada kebijakan satu data yang dikoordinasikan dengan BPS. BPS sudah menyusun roadmap untuk memperbaiki data pangan.

Perbaikan data dikoordinasikan dengan BPS dan dilakukan bersama Kemtan, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Badan Pertanahan Nasional (BPN).

KONTAN: Jadi, semua kementerian dan lembaga termasuk Bulog kelak hanya merujuk ke data BPS?
GATOT:
Betul. Karena secara kelembagaan BPS punya wewenang dan kapasitas.

KONTAN: Setelah satu pintu di BPS, apa peran Kemtan untuk data pangan?
GATOT:
Dari dulu kami sudah punya tugas yang jelas. Mulai perumusan dan penetapan kebijakan di bidang penyediaan prasarana dan sarana pertanian, peningkatan produksi padi, jagung, kedelai, tebu, daging, dan pertanian lainnya, serta peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian.

Lalu, kami juga yang bertanggungjawab pada pelaksanaan teknis di lapangan. Intinya, fokus utama kami adalah menjaga produksi pertanian dan ketahanan pangan.

KONTAN: Untuk memastikan data yang ada di BPS valid, bagaimana caranya?

GATOT: Kita harus percayakan kepada BPS, karena selain memiliki payung hukum, mereka jelas memiliki perangkat yang bisa memastikan data tersebut valid. Adapun untuk perbaikan metode, ini merupakan perkembangan teknologi yang tentu harus diadopsi untuk kepentingan nasional.

KONTAN: Untuk tahun ini, berapa persisnya angka produksi beras nasional?
GATOT: Untuk saat ini, saya belum bisa memberikan data final, nanti saja setelah kami kumpulkan dan berkoordinasi dengan unit di daerah juga instansi lain yang terkait.

KONTAN: Kemtan optimistis bakal terjadi surplus?
GATOT:
Kalau surplus, kami optimistis. Tinggal angka surplusnya berapa, itu yang belum bisa kami pastikan.

KONTAN: Tapi, ada yang menyebutkan, banyak praktik mafia pangan di lapangan. Sudah sering sekali data di atas kertas terjadi surplus, namun kenyataan di lapangan tidak. Menurut Anda?
GATOT:
Saya tidak berwenang untuk menanggapi hal tersebut. Yang jelas, sudah ada institusi pemerintah yang mengawasi dan menindaknya.

KONTAN: Lalu, bagaimana upaya Kemtan meningkatkan produksi pangan di tahun-tahun mendatang?
GATOT:
Salah satu yang sedang kami galakkan saat ini adalah budidaya tumpang sari. Pola tumpang sari yang dilakukan adalah tumpang sari padi–jagung, padi–kedelai, dan jagung–kedelai.

Pendekatan ini nantinya dapat mengeliminasi kompetisi penggunaan lahan atau komoditas, dan merupakan solusi berkelanjutan terhadap keterbatasan lahan.

Pola tumpangsari mulai diujicoba pada September hingga Desember 2018. Uji coba akan dilaksanakan di sembilan provinsi dengan total lahan 5.000 hektare. Pola ini dinilai tepat untuk menghindari potensi pengurangan luas padi jika kedelai dan jagung meningkat.

Kunci utama tumpang sari ini yaitu penambahan populasi dan penggunaan benih berkualitas. Dengan menggunakan konfigurasi jarak tanam yang tepat, satu hektare lahan bisa menghasilkan dua hektare jagung dan satu hektare padi, dua hektare jagung dan satu hektare kedelai, atau satu hektare padi dan satu hektare kedelai.

Selain itu, penanaman tumpang sari juga bisa meningkatkan kesuburan tanah sehingga mengurangi kebutuhan pupuk. Pendekatan ini bisa mengeliminasi persaingan lahan antarkomoditas dan juga dapat mengoptimalkan produksi padi tanpa harus tergantung musim.

Lahan sawah beririgasi saatnya berproduksi maksimal, organisme pengganggu tumbuhan (OPT) rendah, biaya produksi murah, hasilnya maksimal, kemudian harga gabahnya bagus.

KONTAN: Kemarau akan berdampak negatif?
GATOT:
Kemarau juga saat ideal untuk memutus siklus OPT. Jadi, kemarau bukan petaka tetapi berkah. Kemarau dan musim hujan sudah membawa manfaat masing-masing.

Penerapan tumpang sari harus memperhatikan lokasi. Lokasi pengembangan tumpang sari di antaranya di lahan sawah irigasi yang dilakukan pada akhir musim hujan.

Misalnya, di lahan rawa dilakukan setelah penanaman padi pertama. Di lahan kering yang tidak di sawah dilaksanakan pada awal musim hujan. Dan, di lahan sawah tadah hujan awal musim hujan dengan populasi rapat atau sumber air sungai.

KONTAN: Untuk tahun depan, produksi beras bagaimana? Apakah surplus masih akan terjadi lagi?
GATOT:
Prediksi kami, produksi beras akan tumbuh sekitar 8% dibandingkan dengan realisasi tahun ini. Tapi, masih dihitung dan di-update terkait surplus di tahun depan.

KONTAN: Kalau surplus, itu berarti tidak impor?
GATOT:
Saya tidak bisa berkomentar tentang itu, karena bukan wewenang kami dan impor beras melibatkan banyak instansi pemerintah.

KONTAN: Anggaran tahun depan mendukung peningkatan produksi pangan?
GATOT:
Untuk tahun depan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan memperoleh dana Rp 6 triliun. Memang, angka ini lebih kecil dibanding anggaran 2018 sebesar Rp 9 triliun. Dana ini untuk program peningkatan produksi, produktivitas, mutu hasil tanaman pangan.

KONTAN: Kok, anggaran tahun depan lebih kecil?
GATOT:
Ya, sesuai kebutuhan saja. Tidak harus anggaran itu naik dari tahun ke tahun. Karena, ada beberapa alat yang dibutuhkan dan sudah dibeli tahun ini. Jadi, tidak perlu beli alat lagi tahun depan.             

Biodata

Riwayat pendidikan:
■     Sarjana Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM)
■     Magister Agroklimat Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)
■     Doktor Pemodelan Hidrologi di Ecole Nationale Superieure Agronomique, Rennes, Prancis

Riwayat pekerjaan:
■     Pengurus Pusat Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia
■     Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Kementerian Pertanian
■     Direktur Pengelolaan Air Irigasi Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian    
■     Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian
■     Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian
■     Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian.   

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 5 November - 11 November 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: Kita Harus Percayakan Data Pangan ke BPS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×