kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sidang MK dan transformasi pemilu


Sabtu, 22 Juni 2019 / 11:05 WIB
Sidang MK dan transformasi pemilu


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menjalankan proses persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019, baik Pemilu Presiden (Pilpres) maupun Pemilu Legislatif (Pileg). Penanganan perkara Pemilu di MK terdiri dari sebelas tahap. Dimulai dari tahap pengajuan permohonan hingga penyerahan salinan putusan. Tahapan tersebut diberlakukan berdasarkan Peraturan MK No. 5 Tahun 2018.

Adapun tahap pertama, pengajuan permohonan pemohon yang dimulai pada 23 hingga 25 Mei untuk sengketa Pilpres. Sementara untuk sengketa Pileg pada 8 Mei hingga 25 Juni. Pada tahap kesepuluh akan dibacakan keputusan untuk perkara Pilpres yang digelar pada 28 Juni, sementara untuk Pileg pada 6 Agustus hingga 9 Agustus. Pada tahap terakhir atau ke-11 berupa penyerahan salinan putusan dan pemuatan dalam halaman MK.

Tahapan-tahapan diatas hendaknya jangan mengesankan sebagai mahkamah kalkulator seperti opini publik selama ini. Para hakim MK sebaiknya turut mendorong perbaikan pelaksanaan pemilu di masa mendatang.

Apalagi, Pemilu 2019 sarat dengan masalah krusial dan telah menelan banyak korban jiwa para petugas pemilu. MK mesti berperan memberikan arah agar terjadi transformasi pemilu yang akan datang.

Apalagi Ketua MK Anwar Usman mengaku berdosa karena turut memutuskan pelaksanaan Pemilu secara serentak. Tak bisa dimungkiri lagi bahwa penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan yang paling rumit di dunia. Untuk itu, beban kerja dan kompetensi penyelenggara pemilu dari berbagai tingkatan di masa mendatang perlu diperbaiki.

Pertimbangan MK saat memutuskan pemilu serentak adalah efisiensi waktu dan anggaran. Namun, dalam pelaksanaannya justru anggaran pemilu ternyata lebih besar dari perkiraan awal dan mencapai Rp 35 triliun.

Menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia mencapai 469 orang. Banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit memunculkan tuntutan agar sistem pemilu serentak diubah.

Pada masa mendatang rekrutmen petugas pemilu dari tingkat Komisioner KPU dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), hingga petugas di lapangan perlu syarat berbadan sehat serta memiliki kompetensi yang cukup. Baik kompetensi logistik pemilu, sistem informasi pemilu, sistem pengawasan dan pencegahan fraud atau kecurangan, hingga pilihan teknologi pemilu yang mampu membuat proses demokrasi menjadi efektif.

Kompetensi pemilu kini menjadi salah satu program studi dan jenis profesi yang penting. Kompetensi pemilu sangat tergantung kepada teknologi pemilu global yang terus berkembang dan telah digunakan di sejumlah negara.

Pemilu elektronik sekalipun kini juga belum sempurna 100%. Amerika Serikat (AS) yang menjadi kiblat demokrasi pernah mengalami krisis teknologi pemilu serta terjadinya election fraud yang memerlukan upaya sangat besar untuk mengatasinya.

Krisis pemilu yang pernah terjadi di AS diselesaikan dengan melibatkan perguruan tinggi serta badan riset terkemuka. Untuk memecahkan masalah teknologi pemilu di AS dibentuklah Voting Technology Project (VTP) yang dikoordinasi oleh pakar dari California Institute of Technology (Caltech) dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Perkembangan teknologi pemilu elektronik pada saat ini cenderung menyempurnakan e-Voting karena ada masalah kepercayaan publik terhadap teknologi tersebut. Saat ini sistem pemilu yang bersifat penghitungan elektronik (e-Counting) lebih bisa diterima. Pemungutan suara di negara maju seperti di Amerika Serikat sekitar 70% negara bagian memakai e-Counting. Begitu pula negara berkembang seperti Filipina yang sejak 2015 sudah 100% memakai e-Counting.

Tata kelola demokratisasi selain membutuhkan manajemen logistik yang baik juga memerlukan terobosan teknologi. Terobosan tersebut akan membuat pelaksanaan pemilu lebih efektif. Pada dasarnya pelaksanaan pemilu terdiri dari tiga proses, yakni registrasi pemilih, proses pemilihan dan proses perhitungan suara. Kunci kesuksesan penyelenggaraan pemilu adalah proses pemilihan (vote) oleh pemilih itu sendiri.

Pada prinsipnya hingga kini ada tiga metode pemilihan, dimulai dari yang paling sederhana atau primitif yakni dicoblos atau dicontreng. Kemudian dengan metode offline Electronics Voting Machines (EVM) seperti di India dan metode online EVM seperti di Amerika Serikat.

Dengan EVM, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara signifikan. Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), begitu pula tidak perlu ada penghitungan di Panitia Pemungutan suara Kecamatan (PPK). Penerapan pemilu elektronik telah berjalan di beberapa negara.

Masing-masing negara memiliki sistem tersendiri yang telah disesuaikan dengan budaya dan kondisi infrastruktur negara tersebut. Sebagai contoh, negeri Belanda telah memiliki sistem pemilu elektronik bernama Rijnland Internet Election System (RIES). Sistem tersebut menggunakan internet sebagai media pengumpulan suara.

Bangsa Indonesia hendaknya segera melakukan transformasi pemilu dengan terlebih dahulu memfokuskan pada usaha customizable system berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang telah menerapkan pemilu elektronik.

Fokus pengembangan yang ideal harus mengarah kepada prinsip three in one solution yang mencakup e-counting, e-voting dan paper-ballot e-counting. Prinsipthree in one yang ideal dan adaptif adalah model London elect untuk e-counting, model Accuvote TSX (AS) untuk e-voting, dan model Accuvote OS (AS) untuk paper-ballot e-counting.

Customizable system di atas harus ditunjang dengan large scale tabulation dan business intelligence sebagai perangkat untuk meningkatkan kapabilitas dan integritas penyelenggara pemilu.

Proses untuk menerapkan sistem pemilu elektronik memang panjang dan berliku. Namun, negeri ini harus berani menempuhnya, tentu saja dengan memetik pengalaman negara lain. Para penyusun Undang-Undang (UU) Pemilu mendatang harus berani banting setir menuju pemilu elektronik.

Terwujudnya tata kelola demokratisasi yang efektif di Amerika Serikat juga mengalami jalan berliku. Tata kelola itu mengalami kemajuan pesat sejak 2002, yakni saat Kongres AS mengesahkan Help America Vote Act (HAVA). Yang antara lain berupa pemberian bantuan kepada seluruh negara bagian untuk memperbaiki proses pemilu. Juga diberikan wewenang lebih kepada penyelenggara pemilu negara bagian untuk memilih metode dan teknologi pemilu.

Kita bisa berharap bahwa transformasi teknologi akan membawa demokrasi Indonesia semakin berjalan ke arah yang lebih baik. Pemanfaatan teknologi ini juga bisa digunakan sebagai edukasi bagi seluruh masyarakat.♦

Hemat Dwi Nuryanto
Lulusan UPS Toulouse Prancis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×