kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Serapan belanja tak optimal, Ekonom: Ada alokasi anggaran yang mubazir


Kamis, 23 September 2021 / 22:49 WIB
Serapan belanja tak optimal, Ekonom: Ada alokasi anggaran yang mubazir


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat, realisasi belanja negara hingga akhir Agustus 2021 sebesar Rp 1.560,8 triliun.

Meski terpantau naik 1,5% yoy, angka tersebut baru mencapai 56,8% dari total pagu yang sebesar Rp 2.750 triliun. Dengan kata lain, dalam empat bulan ke depan, pemerintah masih harus belanja sebesar Rp 1.189,2 triliun.

Di tengah serapan belanja negara yang masih lamban, pemerintah masih menarik utang. Pada hari ini, Kamis (23/9) pemerintah menerbitkan dua seri obligasi global berdenominasi dollar Amerika Serikat (AS) dan Euro.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pun mengingatkan, dengan pemerintah masih menumpuk utang dan serapan belanja yang masih lamban, ini akan membuat sisa lebih anggaran atau SILPA membengkak.

Baca Juga: Anggaran belanja negara masih sisa Rp 1.189,2 triliun hingga akhir Desember 2021

“Artinya, malah ada alokasi anggaran yang mubazir. Karena, pemerintah sudah menerbitkan utang dalam jumlah besar, sementara serapan belanja dan juga pos PEN tidak optimal,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (23/9).

Bhima pun kemudian mempertanyakan alasan pemerintah untuk menarik utang saat ini, di tengah belanja yang lamban. Ia menduga, pemerintah melakukan ini sebagai frontloading untuk mempersiapkan belanja pada awal tahun 2022.

“Kalau memang benar, ini tidak bisa disebut benar. Harus dicek. Apakah pemerintah khawatir utang tidak terserap di tahun depan sehingga agresif menerbitkan surat utang di tahun ini?” cecarnya.

Lebih lanjut, Bhima kembali mengimbau agar pemerintah mendorong serapan belanja agar cepat dan tepat. Hal ini bisa dilakukan dengan realokasi anggaran ke pos belanja yang krusial.

Baca Juga: Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 di rentang 4%-5%

Seperti contohnya belanja bantuan sosial tunai maupun bantuan subsidi upah. Dalam hal ini, pemerintah bisa menambah nominal bantuan atau bahkan jumlah penerima baru.

Bhima juga menyoroti pemerintah daerah (pemda) yang juga masih lambat dalam melakukan belanja. Bhima pun menyarankan, pemerintah pusat lebih tegas dalam hal ini. Bahkan, lebih baik pemerintah mendorong dengan mengeluarkan sanksi keras.

“Kalau ada proyek lambat, langsung sanksi keras. Karena tiap tahun, ada atau tidak adanya pandemi, serapan belanja pemda sama-sama mengecewakan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×