kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Secara finansial PLN tidak dalam keadaan bangkrut


Rabu, 16 Januari 2019 / 17:09 WIB
Secara finansial PLN tidak dalam keadaan bangkrut


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Dalam Pidato Kebangsaan bertajuk “Indonesia Menang”, Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto kembali menyebut bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) satu persatu mengalami kebangkrutan saat ini. Barangkali Prabowo menggunakan definsi operasional bangkrut, yang tidak lazim digunakan untuk menjustifikasi BUMN bangkrut.

Menurut definsi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perusahaan bangkrut adalah perusahaan yang menderita kerugian besar secara terus menerus sehingga tidak bisa membayar hutang, yang menyebabkan jatuh hingga mengalami pailit.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, Perusahaan dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan niaga. Salah satu BUMN, yang dinyatakan bangkrut dalam pidato kebangsaan Prabowo, adalah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Pesero. Pertanyaannya: “Benarkah PLN Bangkrut?”. Secara hukum, tidak ada satu pun keputusan pengadilan niaga yang menyatakan bahwa PLN pailit.

Secara finansial, PLN juga tidak bangkrut lantaran tidak sedang mengalami kerugian secara terus menerus. Berdasarkan laporan keuangan pada 2018, PLN justru meraub laba usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun, meningkat 13,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp8,5 triliun. Namun, berdasarkan Standard Akuntansi Pencatatan Laporan Keuangan, PLN harus mencatatkan kerugian belum terealisasi (unrealised loss) akibat selisih kurs mencapai Rp17 triliun.

Unrealised loss merupakan kerugian yang dicatat dalam laporan laba-rugi akibat adanya selisih kurs dari pinjaman jangka panjang yang belum jatuh tempo. Pinjaman itu dalam mata uang dolar AS harus dikurskan ke dalam mata uang rupiah sehingga memunculkan rugi selisih kurs lantaran rupiah lagi melemah.

Berdasarkan indikator finansial, tanda-tanda kebangkrutan dinilai dari kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban utang, yang ditunjukkan dari tingkat solvabilitas perusahaan. Solvabilitas diukur dari perbandingan antara total utang dengan total asset (debt to asset ratio) dan perbandingan total utang dengan total modal sendiri (debt to equity).

Laporan keuangan PLN yang sudah diaudit pada 2017 menunjukkan bahwa total asset PLN sebesar Rp. 1.272.178 triliun dan total equity sebesar Rp. 869.417 triliun, sedangkan total utang sebesar Rp. 465.540 triliun. Berdasarkan data itu, rasion total utang terhadap asset (debt to asset ratio) sebesar 34,87% dan total utang terhadap modal sendiri (debt to equity) sebesar 53,55%.

Dengan kinerja keuangan tersebut, PLN sangat dipercaya oleh kreditor internasional sehingga tidak sulit bagi PLN untuk mendapatkan dana pinjaman pada saat menerbitkan surat utang berdominasi asing (global bond).

Global Bond itu diterbitkan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan Euro. Rinciannya, sebesar US $500 juta jangka waktu (tenor) 10 tahun 3 bulan dengan tingkat bunga 5,375% dan sebesar US $ 500 juta tenor 30 tahun 3 bulan dengan tingkat bunga 6,25%, serta sebesar € 500 juta 7 tahun dengan bunga 2,875%.

Keberhasilan PLN dalam menerbitkan global bond lebih dari US $ 1,5 miliar itu menunjukkan bahwa adanya kepercayaan internasional yang besar terhadap kinerja keuangan PLN dan kemampuan PLN dalam membayar kembali surat utang tersebut.

Sebagai BUMN Startegis yang menjalankan Public Service Obligation (PSO), penilaian kinerja PLN tidak semata-mata didasarkan atas pencapaian kinerja keuangan (financial performance) saja, tetapi juga didasarkan non-kinerja keuangan (non-financial performance). Salah satunya adalah kinerja PLN atas keberhasilannya dalam menjalankan PSO.

Data menunjukkan bahwa PLN berhasil mencapai tingkat elektrifikasi yang mencapai 98,05% pada 2018. Seiring dengan kenaikkan rasio elektifikasi itu, jumlah pelanggan PLN juga mengalami kenaikan sebanyak 2,5 juta pelanggan, dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 naik menjadi 70,6 juta pelanggan pada 2018.

Kenaikan jumlah pelanggan itu menaikkan volume penjualan listrik sebesar 6,93%, dari Rp181,8 triliun pada 2017 naik menjadi Rp194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 4,87%, dari 165,1 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 naik menjadi 173 TWh pada 2018.

Tidak hanya peningkatan jumlah pelanggan, pertumbuhan konsumsi listrik juga mengalami kenaikkan signifikan. Data menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik sektor industri mencapai 6,11% dan sektor Bisnis mencapai 6,1% pada 2018.

Peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik itu mengindikasikan bahwa PLN ikut memberikan kontribusi dalam peningkatan Industri dan Bisnis di negeri ini dalam penyediaan listrik yang dibutuhkan oleh sektor Industri dan Bisnis.

Tidak dapat disangkal bahwa  Pertumbuhan Industri dan Bisnis akan memicu pertumbuhan ekonomi dan penambahan lapangan pekerjaan, serta pengurangan angka kemiskinan di Indonesia.

Berdasarkan indikator keungan, PLN masih meraih laba usaha pada 2018, kalau pun harus mencatatkan kerugian merupakan kerugian yang belum direalisasikan karena adanya selisih kurs. Pendapatan PLN juga mengalami peningkatan, seiring dengan kenaikan jumlah pelanggan, baik pelanggan Rumah Tangga, maupun pelanggan Bisnis dan Industri.

Demikian juga dengan indikator total debt to asset ratio dan total debt to equity, PLN tidak dalam kondisi kebangkrutan. Pasalnya, jumlah asset dan modal sendiri masih sangat mencukupi untuk membayar seluruh utangnya.

Demikian juga, PLN telah berhasil menjalankan PSO, menikkan rasio eletrifikasi, meningkatkan jumlah pelanggan, dan meningkatkan pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia. Kalau mendasarkan pada indikator-indikator terukur itu, pernyataan Prabowo bahwa PLN bangkrut saat ini sesungguhnya tidak lah benar. Kalau PLN benar-benar bangkurt, mustahil bagi investor dan kredidtor internasional untuk membeli global bond yang diterbitkan PLN.

Pernyataan tidak benar bahwa PLN saat ini bangkrut dikhawatirkan dapat mengurangi kepercayaan kreditor dan investor internasional, yang seharusnya tidak diucapakan oleh seorang calon presiden dalam pidato kebangsaan. (Opini: Fahmy Radhi Pegamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada )

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×