kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rupiah memerlukan bantalan ekonomi


Senin, 09 Juli 2018 / 16:56 WIB
Rupiah memerlukan bantalan ekonomi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang terus membaik dalam tiga tahun terakhir pasca-diempaskan  krisis keuangan tahun 2018 mendorong bank sentral AS alias The Federal Reserve (The Fed) harus menempuh kebijakan moneter ketat. Yakni dengan menaikkan suku bunga kebijakan alias  federal funds rate (FFR) mengantisipasi terjadinya pemanasan (overheating) perekonomian.

Sejak tahun 2015, The Fed telah mengerek FFR secara bertahap. Sampai Juni 2018, posisi FFR telah bertengger di level 1,75%-2,00%. Kenaikan FFR masih berlanjut hingga ke level 2%-2,25% akhir tahun 2018. Dan lonjakan   terus berlanjut di tahun 2019 nanti yang diperkirakan bisa mencapai  level 2,75%-3%.

Salah satu efek dari kenaikan FFR ini adalah terjadinya perubahan konfigurasi aliran dana global. Sebagaimana diketahui, kebijakan quantitative easing (QE) yang dijalankan The Fed sepanjang tahun 2009-2013 yang diikuti oleh sejumlah otoritas moneter di negara maju, seperti Bank Sentral Jepang (BoJ), Bank Sentral Inggris (BoE) dan Bank Sentral Eropa (ECB) telah membuat melimpahnya dana murah.  

Dana murah itu mengalir ke berbagai penjuru dunia yang memiliki tingkat suku bunga yang tinggi, khususnya di kawasan Asia, Indonesia salah satunya. Aliran dana global ini membuat harga aset keuangan  (saham dan obligasi) terapresiasi. Bahkan, beberapa di antaranya mengalami bubble (nilai pasar di atas nilai intrinsiknya). Alhasil, nilai tukar  ikut menguat tajam. Itulah sebabnya, pada akhir tahun 2010, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level Rp 8.900 per dollar AS.

Namun, kondisi saat ini berbeda. Kebijakan The Fed yang cenderung menaikkan suku bunga kebijakannya dan diikuti dengan balance sheet reduction (penyedotan likuiditas) membuat dana murah ini berbalik ke tempat di mana dulu dia berasal.

Nah, dalam setiap proses pembalikan dana, nilai tukar akan cenderung melemah. Situasi inilah yang menimpa mata uang rupiah akhir-akhir ini. Memang ini bukan kali pertama terjadi. Situasi yang mirip pernah terjadi pada tahun 2013, imbas dari kebijakan tapering off dari The Fed.

Saat itu, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 20%. Bahkan, pelemahan rupiah yang sangat cepat dan dalam membuat Morgan Stanley mengelompokkan perekonomian Indonesia sebagai fragile five bersama India, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil.

Pelemahan rupiah kala itu membuat yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun ke level 8,4% (2013) dari 5,17% (2012). Lantas IHSG terpangkas sebesar 22,4% dari 5.217,98 (20/5/2013) menjadi 4.050,86 (5/9/2013). Kemudian menyusutkan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,6% (2013) dari 6,2% (2012).

Untuk menghentikan pemburukan rupiah ini, Bank Indonesia (BI) saat itu harus mengerek suku bunga kebijakan (BI rate) hingga 175 bps dari 5,75% (2012) menjadi 7,5% (2013). Selain itu, cadangan devisa juga tergerus lebih dari US$ 13 miliar menjadi US$ 99,39 miliar (2013) dari US$ 112,78 miliar (2012).

Memang, pemburukan rupiah saat itu tidak murni disebabkan oleh imbas tapering off. Faktor domestik juga ikut berperan. Kala itu, sejumlah indikator makro ekonomi menunjukkan kondisi yang tidak sehat, seperti inflasi dan defisit transaksi berjalan.

Sepanjang tahun 2013, inflasi melompat menjadi 8,4% (2013) dari 4,3% (2012). Kondisi itu didorong kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Langkah ini untuk menekan subsidi BBM yang kala itu melompat signifikan hingga
Rp 210 triliun imbas kenaikan harga minyak dunia hingga di atas US$ 100 per barrel.

Sementara, defisit transaksi berjalan melebar dari 2,65% dari PDB (2012) menjadi 3,19% dari PDB (2013) 2013. Negara yang memiliki defisit transaksi berjalan yang tinggi biasanya nilai tukarnya juga akan cenderung melemah.

Meski begitu dengan sejumlah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan otoritas sektor keuangan (BI, OJK dan LPS), perekonomian Indonesia kala itu mampu melewati tekanan itu.

Bantalan ekonomi

Nah, memasuki tahun 2018, perekonomian Indonesia juga sedang diuji. Bahkan, sejumlah pihak mengkuatirkan kondisi saat ini bisa mengulang kondisi yang terjadi di tahun 2013. Alasannya, sejumlah indikator menunjukkan ‘pola’ yang mirip, seperti nilai tukar yang terus melemah, defisit transaksi berjalan kembali melebar, di kuartal I-2018 di level 2,15% dari PDB dari 1,7% di kuartal IV-2017. Lantas cadangan devisa juga tergerus, beban utang yang cenderung naik, dan aliran dana keluar (capital outflow) yang terus keluar dari pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN).

Meski begitu menurut hemat penulis, argumen ini masih cukup prematur. Bagaimana pun, sejumlah indikator lain menunjukkan kondisi yang berbeda dan lebih sehat dari tahun 2013. Seperti inflasi yang rendah dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang masih stabil, kondisi fiskal yang masih sehat, stabilitas sektor keuangan yang terjaga, dan aliran investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) yang masih tumbuh.

Selain itu, Bank Indonesia telah menjalankan kebijakan preemptive, ahead a curve, dan front loading dengan menaikkan suku bunga kebijakan (BI-7DRR) sebesar 100 bps sepanjang Mei-Juni 2018 ke level 5,25%. BI juga telah memberi sinyal bahwa  peluang kenaikan BI-7DRR masih bisa terjadi. Kebijakan ini diharapkan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.

Tentu, kebijakan dari BI tidak cukup. Dibutuhkan kebijakan yang lebih berkelanjutan agar bantalan ekonomi lebih solid. Sehingga, ketika terjadi tekanan (eksternal dan internal), nilai tukar tidak mudah tergoncang.  

Oleh sebab itu, sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk memperkuat bantalan ekonomi.  Seperti pertama, memperkuat sektor manufaktur dan sektor pariwisata untuk meningkatkan daya saing ekspor yang diharapkan akan dapat mendulang devisa yang lebih berkelanjutan.

Kedua mendorong investasi yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan (FDI). Jadi tidak hanya tergantung pada investasi  jangka pendek dan spekulatif di dalam portofolio.

Ketiga, memperdalam (deepening) sektor keuangan.  Sehingga ketika terjadi pembalikan dana, efeknya adalah tidak menimbulkan kerusakan terhadap stabilitas makroekonomi.

Sektor keuangan yang semakin dalam juga dapat dimanfaatkan untuk menggalang dana jangka panjang untuk mengimbangi ekses pinjaman luar negeri.  Otoritas sektor keuangan  diharapkan  terus-menerus konsisten dan berkelanjutan mendorong diversifikasi produk investasi dan menambah jumlah investor domestik. •

Desmon Silitonga
Analis Pasar Modal dan Alumnus Pascasarjana FEUI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×