kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Relasi baru pusat dan daerah di laut


Rabu, 05 Desember 2018 / 13:18 WIB
Relasi baru pusat dan daerah di laut


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Di Provinsi Kepulauan Riau, isunya lumayan santer dan menjadi topik hangat yang diperbincangkan masyarakat di sana. Setelah sekian lama berjuang, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dinyatakan berwenang menarik pungutan retribusi ruang laut di wilayah perairan oleh Kementerian Hukum dan HAM sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Keputusan Kementerian Hukum dan HAM memberikan wewenang ke Pemprov Kepri, selama ini baru sebatas uang labuh jangkar atau anchorage, menjadi game changer dalam relasi pemerintah pusat-pemerintah daerah di laut. Sehingga, pada derajat tertentu, keduanya kini berada dalam posisi yang relatif sejajar dalam pengelolaan ruang laut. Tapi masih terlalu dini mengatakan Pemprov Kepri akan bertambah koceknya dengan kewenangan memungut uang labuh jangkar.

Ada banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Pemprov Kepri agar pemasukan yang diincar bisa masuk ke kas daerah. Mulai dari regulasi lokal, birokrasi daerah, SDM setempat, dan lain sebagainya. Jika semua aspek ini tidak dapat diselesaikan secepatnya, kesempatan mendapatkan tambahan pendapatan asli daerah (PAD) yang sudah terbuka lebar bisa jadi akan lenyap ditelan masa.

Ada banyak contoh bagaimana pedang waktu membuat aspek tadi (khususnya regulasi) menjadi tumpul. Contohnya pada level nasional, Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) coast guard. Ego sektoral di kementerian dan lembaga telah mengganjal aturan turunan dari UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran itu tak jua kunjung jadi sampai saat ini.

Pada tingkat daerah tentu proses legislasi sebuah regulasi, dalam hal ini Raperda (Rancangan Peraturan Daerah), bisa jadi jauh lebih rumit dibanding pada tingkat pusat. Ketika Kepri hendak menindaklanjuti putusan Kemenkumham terkait pungutan uang labuh jangkar, kerumitan yang akan muncul pastinya lebih maksimal. Pasalnya, isu yang dibahas seputar bagi-bagi duit antar pusat-daerah. Untuk masalah yang satu ini pusat selalu pelit.

Relasi pusat-daerah di laut mengalami perubahan beberapa kali sejak era reformasi ini. Perubahan ini dapat dilihat dari silih bergantinya aturan perundangan yang mengatur hubungan tersebut. Aturan seperti UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Peraturan ini kemudian diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 yang kembali diganti dengan UU No 23 Tahun 2014. Kendati demikian, ada satu semangat yang tetap mengalir dalam semua undang-undang tadi.

Semangat itu adalah pengelolaan ruang laut diserahkan kepada pemerintah daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa ruang laut 0-4 mil laut dari garis pantai dikelola oleh pemerintah Kabupaten atau Kota. Sementara, bagi pemerintah provinsi kewenangan pengelolaan laut sepanjang 12 mil laut dari garis pantai. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 kewenangan pengelolaan ruang laut oleh pemkab/pemkot yang diberikan dua undang-undang sebelumnya dicabut. Seluruh kewenangan pemda di laut selanjutnya diserahkan ke tangan pemprov.

Hargai pendapatannya

Sejak pengelolaan ruang laut sepanjang 12 mil laut itu diotonomikan dalam orde Reformasi, pemda tak henti-hentinya berupaya agar mereka bisa mengeksekusi kewenangan yang diamanatkan perundangan yang ada. Salah satu sektor yang memiliki potensi PAD lumayan besar bagi kas daerah: perhubungan (laut) seperti pelabuhan yang jadi primadona.

Pemda yang menjadi tuan rumah bagi pelabuhan komersial di seluruh Indonesia umumnya dikelola BUMN kepelabuhanan mencoba meminta bagi hasil keuntungan dari Pelindo. Berhasil? Tentu saja tidak.

Perlu tulisan tersendiri untuk membahas mengapa upaya pemda ini gagal. Pemprov Kepri yang dianugerahi lautan yang luas sudah lama ingin mengelola bisnis labuh jangkar yang selama ini dikelola Kementerian Perhubungan. Bisnis yang khas karena bertetangga dengan Singapura.

Kapal yang ingin bersandar di pelabuhan Singapura sering lego jangkar (anchor) menunggu giliran di perairan Batam. Alasan lain, karena pelabuhan negeri jiran juga sibuk, pastilah jumlah kapal yang anchor tidak sedikit. Sehingga perlu disediakan kawasan khusus agar tidak menghambat lalu lintas kapal di Selat Philips yang terkenal padat. Peluang ini ditangkap oleh Pusat, termasuk BP Batam, dengan menyediakan beberapa lokasi tambatan, antara lain, di Rempang-Galang dan Kabil.

Setelah Kumham mengabulkan permohonan Pemprov Kepri untuk memungut retribusi labuh jangkar, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Berapa besar valuasi bisnis labuh jangkar? Apakah retribusi yang akan dipungut itu mengambil semua penghasilan dari uang labuh jangkar yang ada? Apakah lembaga yang akan memungut uang labuh jangkar itu? Menurut laporan media setempat, sebuah Peraturan Gubernur (Pergub) tengah disiapkan untuk antisipasi putusan Kumham dan semoga ada jawaban atas pertanyaan tadi yang ada di dalamnya.

Selain Pemprov Kepri yang harus menyelesaikan PR-nya, pusat juga harus mengebut pembahasan RPP tentang Kewenangan Daerah Provinsi di Laut. Ini merupakan turunan dari UU No. 23 Tahun 2014 dan sudah lumayan lama dibahas namun nampaknya jalan di tempat. Perhatian besar perlu diberikan terhadap proses pembahasan RPP tersebut karena bisa jadi apa yang diatur di dalamnya justru mengganjal kewenangan yang diberikan kepada Pemprov Riau khususnya dan provinsi kepulauan lainnya pada umumnya.

Dalam sebuah diskusi dengan seorang teman yang mendalami ilmu pemerintahan beberapa waktu lalu, salah satu celah yang bisa mengganjal implementasi pungutan labuh jangkar apabila RPP tidak menyebut seluruh UU terkait dalam konsideran-nya.

Satu hal menjadi terang, yaitu hak pemda harus direbut, ia tidak diberikan. Bila Pemprov Kepri berhasil merebut uang labuh jangkar dari pusat, pemda lain barangkali bisa merebut pendapat pas masuk pelabuhan yang ada di daerah mereka. Logikanya sederhana saja. Untuk fasilitas yang dibangun oleh pengelola pelabuhan, yang luasnya tidak seberapa dibandingkan dengan wilayah kekuasaan pemda, pengelola memungut uang masuk/pas pelabuhan.

Bayangkan, jika untuk semua fasilitas umum yang dibangun oleh pemda dengan dana APBD ditarik retribusi, dan tidak ada aturan yang melarang untuk itu, akan terbayang betapa mencekiknya ekonomi setempat. Tetapi, pemda hanya menarik retribusi terbatas untuk semua fasilitas yang dibangunnya. Hargai pemda setempat dengan berbagi pendapatan.•

Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×