kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proyek kilang picu investasi di petrokimia


Rabu, 08 Maret 2017 / 12:08 WIB
Proyek kilang picu investasi di petrokimia


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Maraknya proyek pembangunan kilang dan peningkatan produksi kilang minyak memicu investor petrokimia berbondong-bondong ke Indonesia. Menurut data Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik (INAplas) kebutuhan produk petrokimia 1,6 juta ton per tahun, tapi produsen dalam negeri baru mencukupi setengahnya.

Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik (Inaplas) Suhat Miyarso mengatakan, produksi produk petrokimia dalam negeri baru sebesar 800.000 ton per tahun. "Padahal setiap tahun permintaan naik 5%-6%, mengikuti pertumbuhan industri hilir," kata Suhat, Selasa (7/3). Dia mengungkapkan, industri hilir yang memakai produk petrokimia dipacu industri makanan dan minuman yang banyak memakainya untuk pembuatan kemasan.

Selain swasta, yakni Chandra Asri, pemerintah lewat Pertamina rencananya mulai bermain di industri petrokimia. "Akan integrasi dari refinery ke nafta. Kemudian diolah lagi ke olefin dan poliolefin. Realisasi perlu 4 tahun-5 tahun lagi," kata Suhat.

Investor melihat Indonesia masih kesulitan bahan baku, sepenuhnya impor. Misalnya nafta yang bersumber dari kilang minyak. Sebetulnya Pertamina bisa memproduksi nafta, tapi dipakai sendiri untuk kebutuhan bahan bakar minyak (BBM).

Bila kilang minyak Pertamina berdiri, banyak investasi petrokimia masuk ke Indonesia. Dari faktor tempat, pelaku swasta masih sibuk mencari lahan, mengingat industri petrokimia harus berlokasi di tepi laut. "Tidak bisa di tengah pulau, harus ada dermaga dekat pabrik," kata Suhat.

Dari sisi investasi, membangun kilang minyak relatif mahal. Misalnya, membangun satu kilang memerlukan sekitar US$ 10 miliar. Sedangkan membangun industri petrokimia yang terintegrasi dengan kilang tersebut butuh sekitar US$ 5 miliar.

Insentif tax holiday dan tax allowance, menurut Suhat tidak cukup. Perlu bantuan pemerintah di sisi penyediaan infrastruktur. "Bila ada bantuan pemerintah dalam penyediaan pelabuhan, listrik, air mengurangi biaya proyek sebesar 20%-30%," kata Suhat.

Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian, mengatakan saat ini, pemberian insentif tax holiday mulai ada perbaikan. Bila dahulu hanya 10 tahun, saat ini pemerintah bisa memberikan 15 tahun-20 tahun. "Dulu masalah kegagalan investasi Kilang Balongan tahun 2012-2013 gara-gara itu," kata Khayam, kemarin

Menurutnya, investor Arab Saudi dan Kuwait dalam membangun kilang baru meminta tax holiday selama 30 tahun. Tapi pemerintah menolak. "Setelah itu investor mengatakan bila pemerintah kasih 15 tahun akan jalan," katanya.

Infrastruktur dan lahan industri juga sedang dibangun. Sehingga bisa meningkatkan daya tarik Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×