kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pajak, ekonomi digital, dan sharing economy


Jumat, 15 Februari 2019 / 14:20 WIB
Pajak, ekonomi digital, dan sharing economy


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Ekonomi digital. Istilah ini yang lebih umum dipakai daripada e-commerce. Ekonomi digital inilah yang memberikan platform ekonomi berbagi, atau sharing economy. Mereka menyediakan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan, dengan mempertemukan pemilik barang maupun penyedia jasa kepada para konsumen.

Penyediaan jasa itu, mulai dari jasa angkutan seperti ojek, taksi, sewa rumah, penyewaan kendaraan, jasa pertukangan, streaming music, perdagangan lewat online market place, hingga financial technology (fintech). Sharing economy ini, juga mempertemukan pemilik dana dan peminjam dengan peer-to-peer lending.

Pemerintah sudah mengatur perpajakan atas ekonomi digital melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce). Namun, menarik kita tunggu bagaimana menerapkan peraturan pajak tersebut bagi pelaku ekonomi digital dan sharing economy dalam hal pemotongan dan pelaporan pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga pajak daerah?

Sharing economy

Platform sharing economy pada umumnya disediakan oleh perusahaan digital, dengan menyediakan layanan kepada konsumen untuk berinteraksi dengan penyedia barang dan jasa melalui web atau aplikasi telepon pintar.

Hal ini menciptakan risiko berkurangnya bahkan potensi hilangnya penerimaan pajak karena sifat pembayaran serba digital, yang seringkali berbasis global atau melewati lintas batas negara.

Kondisi ini tentu dapat memberi tantangan bagi pemerintah dalam rangka mendong kepatuhan pelaporan pajak. Khususnya kepatuhan dari pemilik platform yang berbasis dari negara lain.

Karena itulah, saat ini beberapa otoritas perpajakan berupaya menjalin kerjasama untuk melakukan pertukaran informasi. Informasi ini menyangkut aktivitas transaksi individu atau entitas dari negara lain.

Upaya menjalin kerjasama ini seperti dilaporkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) , Comparative Information on OECD and Other Advances and Emerging Economies (2017). Pada laporan tersebut menjelaskan bagaimana pengalaman Australia yang menggunakan data pengguna platform digital, hingga Finlandia yang menggunakan data pembayaran kartu kredit/debit online untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam membayar PPh maupun PPN dalam sharing economy.

Sebenarnya dalam PMK 210/2018 sudah mengatur teknis pelaporan pajak ini. Otoritas pajak Indonesia melakukan apa yang sudah dilakukan oleh otoritas pajak negara lain, yakni dengan penggunaan data dan informasi pelaku ekonomi digital.

Permasalahan pelaporan pajak pelaku sharing economy umumnya adalah, penghasilan yang ada bukan merupakan penghasilan dari pekerjaan (employment income). Karena, pelaku mereka merupakan mitra usaha.

Perlakuan pajak bisa berbeda tergantung jenis penghasilan yang diterima. Apakah sebagai penghasilan usaha, atau penghasilan jenis lainnya seperti sewa, pekerjaan bebas, bunga hingga hasil investasi. Penggolongan jenis penghasilan ini sangat penting, karena akan mempengaruhi perlakuan pajak sesuai dengan jenis penghasilan.

Permasalahan timbul karena tidak adanya kewajiban bagi penyedia platform digital yang memberikan penghasilan kepada para mitra mereka, untuk memotong PPh Pasal 21. Sebab, penghasilan yang diterima mitra bukanlah penghasilan sebagai karyawan ataupun penghasilan jasa.

Pendapatan terbesar sharing economy banyak berasal dari platform digital asing. Dimana, perusahaan digital asing, pada umumnya digolongkan sebagai representative office dan bukan digolongkan sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap). Pada PMK 210/2018 hanya mengatur secara tegas kewajiban penyedia platform asing yang berupa BUT, dan tidak menjelaskan tentang kewajiban platform digital asing yang berbentuk representative office.

Khusus teknologi finansial (Tekfin) bisa mempertemukan pemilik uang dengan penerima pinjaman. Karena itu ada penghasilan atas imbalan misalnya berupa bunga atau imbal hasil kepada pemilik dana atau pemodal. Transaksi menimbulkan pertanyaan, siapa yang wajib memungut pajak atas bunga atau imbal hasil yang diberikan lewat platform digital?

Potensi penerimaan pajak

Ada potensi besar penerimaan PPh orang pribadi di Indonesia dari kegiatan sharing economy. Ini terlihat dari ribuan mitra pengemudi ojek dan taksi online, ribuan penjual di toko online lewat platform marketplace. Hal ini menimbulkan kewajiban PPh orang pribadi yang bisa digali.

Pelaku usaha bisa dikenakan PPh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Dengan catatan jika penghasilan mereka berbagi sebagai orang pribadi dapat digolongkan sebagai penghasilan usaha dan bukan penghasilan dari pekerjaan bebas tenaga ahli, seperti akuntan atau konsultan.

Mereka bisa dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5% sesuai PP No. 23 Tahun 2018. Yang jadi pertanyaan, apakah pengemudi ojek atau taksi online bisa dikenakan PPh final 0,5%? Meskipun d PP 23/2018 membatasi penerapan PPh final tersebut untuk orang pribadi selama maksimal 7 tahun.

PP 23/2018 mengatur pemotong pajak untuk PPh final 0,5% atas kegiatan usaha, yang sebenarnya dapat diterapkan kepada penyedia platform digital. Namun, belum ada ketentuan lanjutannya yang tentunya harus melihat model usaha dari  sharing economy dan jenis penghasilan mitra usaha sehingga tidak semua peserta ekonomi berbagi dapat menggunakannya. Contohnya atas bunga dari platform tekfin atau penawaran jasa tenaga ahli orang pribadi lewat platform digital.

Untuk platform digital asing, potensi penerimaan PPN juga ada, karena berdasarkan UU PPN, penerima jasa dari luar negeri termasuk orang pribadi yang bukan Pengusaha Kena Pajak, atas jasa dari platform digital asing, diwajibkan menyetorkan sendiri PPN terutang atas jasa tersebut.

Sharing economy juga dapat memberi potensi penerimaan pajak daerah, apabila properti yang disewakan dapat digolongkan sebagai jasa penginapan dan dikenakan pajak hotel.

Ada potensi penerimaan pajak yang besar di Indonesia dari pelaku sharing economy dengan platform digital meski dengan pendekatan berbeda karena penghasilan bukan lagi sebagai karyawan dan harus ditentukan jenis penghasilan untuk menentukan perlakuan pajaknya baik sebagai penghasilan kegiatan usaha, pekerjaan bebas atau penghasilan lainnya sehingga dapat menjadi potensi penerimaan PPh, PPN hingga pajak daerah.

Jika PMK 210/2018 akan diterapkan, tentunya permasalahan level of playing field bagi platform digital asing, khususnya yang hanya berupa representative office, perlu diatur lebih lanjut dalam hal pengumpulan informasi pajak seperti NPWP dan penghasilan.•

Andreas Adoe
Peneliti Pajak, Tax Center Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×