kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai monopoli ekonomi digital


Selasa, 19 Desember 2017 / 11:08 WIB
Mewaspadai monopoli ekonomi digital


| Editor: Tri Adi

Pertumbuhan ekonomi digital makin menunjukkan tren yang optimistis, yang ditandai dengan makin tumbuh suburnya start up dan perusahaan online. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memproyeksikan,  tahun 2020 ekonomi digital di Indonesia bisa tumbuh mencapai US$ 130 miliar dolar AS yang setara sekitar Rp 1.700 triliun. Nilai tersebut sepadan 20% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Dengan proyeksi tersebut maka Indonesia mempunyai potensi menjadi negara raksasa ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara. Hal ini didukung oleh jumlah pengguna internet yang besar di Indonesia yang terus meningkat. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), sebanyak 132,7 juta orang Indonesia telah menggunakan internet dan diperkirakan di tahun 2020 pengguna internet Indonesia mencapai 215 juta pengguna. Dari jumlah itu, sebanyak 67,2 juta orang atau 50,7% mengakses melalui perangkat genggam dan komputer.

Begitu besar geliat pertumbuhan ekonomi digital tanah air mulai dari pasar online dan e-commerce, transportasi online, travel online,  perusahaan start up (pemula)  dan financial technology (fintech). Dari segi transaksi, prosentase perputaran e-commerce saja mencapai 36% dan diperkirakan hingga tahun 2025 perputarannya mencapai US$ 81 miliar.

Sementara untuk travel online pertumbuhannya mencapai 22% per tahun, dengan nilai pada tahun 2015 saja mencapai US$ 800 juta dan bisa melompat menjadi US$ 5,6 miliar pada tahun 2025. Adapun untuk perusahaan start up digital saat ini diperkirakan terdapat 2.000 perusahaan yang membutuhkan pendapatan hingga mencapai US$ 20 miliar dengan berbagai jenis perusahaan.

Selain itu, untuk perusahaan fintech berdasarkan data Asosiasi Fintech Indonesia (AFI), tercatat jumlah fintech tahun 2016 sebanyak 165 perusahaan. Adapun lingkup usahanya meliputi 42,22% perusahaan payment, 17,78% lending, 12,59% agregator, 8,15% crowdfunding, 8,15% financial planning dan jenis usaha lainnya  mencakup 11,11%.

Ancaman monopoli

Berdasarkan data Telematika Sharing Vision, tahun 2016 total nilai investasi yang masuk ke sektor fintech atau tekfin  sekitar
Rp 486,3 miliar. Pada 2021, nilai  transaksi fintech di Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 37,146 miliar atau Rp 495,5 triliun.

Berdasarkan data Google dan AT Kearney, selama periode tahun 2012 hingga Agustus 2017, nilai investasi asing kepada perusahaan start up terus meningkat signifikan, yakni dari senilai US$ 44 juta menjadi US$ 3 miliar atau setara dengan Rp 40 triliun. Ini artinya perusahaan start up digital dalam negeri sangat seksi di mata investor asing.

Investor dari China tercatat paling aktif menyuntik modal start up Indonesia, termasuk  Alibaba Group. Perusahaan raksasa e-commerce milik Jack Ma ini menyuntik Tokopedia senilai US$ 1,1 miliar atau setara Rp 14 triliun. Menyusul Tencent yang menanamkan investasinya ke Gojek dengan nilai mencapai US$ 1,2 miliar atau setara Rp 16 triliun. Perusahaan asal China lainnya yang aktif berinvestasi di Indonesia adalah JD.com di Traveloka bersama dengan Expedia, East Ventures, Hillhouse Capital Group, dan Sequouia Capital berinvestasi mencapai US$ 500 juta.

Namun, dengan melihat aksi investasi yang agresif kepada start up digital dikhawatirkan berpotensi terjadi monopoli dengan membentuk pasar menjadi oligopoli atau kondisi pasar yang hanya dikuasai oleh beberapa pelaku usaha saja. Kondisi ini  bisa mematikan pelaku usaha sejenis atau membuat start up lainnya tidak mau masuk bersaing karena melihat peluang yang kecil. Dalam jangka panjang, kondisi ini juga bisa merugikan perekonomian dan dapat menciptakan iklim persaingan usaha digital menjadi tidak sehat.

Sementara itu, untuk mengungkapkan praktik monopoli sangat susah dibuktikan dalam dunia model disrupsi inovasi oleh pihak otoritas persaingan usaha (KPPU). Sebab, pelaku usaha digital pemainnya antar negara yang yurisdiksi atau hukum bisnis yang berlaku berbeda. Selain itu, pemerintah menjadi sulit mendefinisikan kegiatan monopoli di ekonomi digital yang borderless (tanpa batas). Sebab regulator akan kesulitan menentukan di mana wilayah persaingannya serta pasar tempat pelaku usaha bersaing.

Oleh karena itu, sebelum gelombang ekonomi digital yang makin besar tidak bisa lagi dibendung maka pemerintah dan pihak terkait harus sudah mulai mengidentifikasi potensi monopoli industri ekonomi digital, sehingga tidak hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan digital. Salah satu langkah yang bisa dilakukan dengan melakukan revisi terhadap definisi monopoli sehingga memiliki dasar dalam melakukan pengawasan dan pengaturan yang memadai mengingat risiko monopoli dan oligopoli bisnis yang mungkin ditimbulkan.

Tentunya, semangatnya bukan dalam rangka menghambat pertumbuhan ekonomi digital dalam negeri. Yang utama adalah  memberikan ruang bagi pelaku usaha digital lainnya agar dapat ikut menikmati "kue" ekonomi digital. Pemain lain harus memiliki kesempatan yang sama dalam industri ekonomi digital.

Tantangan lain yang ditimbulkan oleh ekonomi digital adalah bisnis offline yang terancam tutup dan bangkrut karena pasarnya diambil oleh bisnis online. Ambil contoh,  perusahaan ritel harus bersaing dengan e-commerce. Lantas kemudian bidang jasa keuangan dengan fintech.

Ada lagi perseteruan antara perusahaan taksi konvensional dengan transportasi berbasis online dan lainnya. Dampaknya  sudah terbukti, yakni terjadi penutupan gerai Matahari Department Store, Ramayana Department Store, Lotus, lalu menyusul Debenhams.

Demi mencegah dampak yang lebih luas maka sinergi antara bisnis yang offline dan online harus dilakukan. Seperti taksi dengan transportasi online, fintech dengan bank dan ritel dengan toko online sehingga peran ekonomi digital makin optimal terhadap perekonomian Indonesia.

Selain itu, yang tidak kalah penting, koordinasi antara lembaga dan kementerian terkait untuk mendorong dan mengawasi optimalisasi potensi pertumbuhan ekonomi digital. Tujuannya, agar dampak bisnis merugikan dapat ditekan lebih awal.

Misalnya mengajak kolaborasi atau dibuatkan aturan yang fair di tiap industri. Perlu juga  dibuatkan ekosistem sinergi antar bisnis tersebut. Dengan begitu, kehadiran ekonomi digital dapat jalan bersamaan dengan industri yang ada dan memberi multi manfaat kepada masyarakat dan perekonomian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×