kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyoal polemik dan politisasi THR ASN


Minggu, 10 Maret 2019 / 09:45 WIB
Menyoal polemik dan politisasi THR ASN


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Panasnya suhu politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 merambah ke semua sektor. Salah satu isu yang terangkat baru-baru ini dan menjadi polemik adalah terkait adanya rencana percepatan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menanggapi polemik tersebut, Kementerian Keuangan (Kemkeu) segera menegaskan bahwa pembayaran THR untuk ASN akan berlangsung pada Mei 2019, sesuai dengan perencanaan awal. Hanya saja, Kemkeu mendorong adanya percepatan proses pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) selaku inisiator pemberi THR. Targetnya sebelum Pemilu 2019, PP sudah ditandatangani Presiden.

Harus diakui, isu pembayaran THR dan gaji ke 13 tersebut pada tahun politik seperti ini mudah digoreng. Upaya percepatan PP oleh pemerintah dapat dimaknai politisasi meskipun tidak langsung. Namun, bagi ASN maupun buruh pada umumnya THR adalah kebutuhan menjelang hari raya Idul Fitri alias Lebaran.

Dinamika Lebaran yang kompleks tentu membutuhkan modal ekonomi yang tidak sedikit. Masyarakat umumnya menabung setahun demi merayakan Lebaran, khususnya bila mudik ke kampung halaman. Makanya, pemberian THR tentu bagai oase di gurun tandus.

Barangkali tidak banyak yang tahu tentang siapa pencetus ide THR, dan sejak kapan digulirkan. Beberapa sumber mencatat bahwa kebijakan THR muncul pertama kali pada pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tokoh yang paling berjasa adalah Soekiman Wirjosandjojo. Soekiman menjabat Perdana Menteri saat itu. Kabinet Soekiman yang dilantik pada tahun 1951 memiliki program meningkatkan kesejahteraan pamong pradja yang kini dikenal Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kebijakan tunjangan dari Kabinet Soekiman akhirnya menjadi titik awal bagi pemerintah untuk mengatur THR. Pemerintah secara resmi mengatur perihal THR secara khusus pada tahun 1994. Peraturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Pengusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus menerus ataupun lebih. Besaran THR yang diterima sesuai dengan masa kerja. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih menerima sebesar satu bulan gaji.

Sedangkan pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, dengan perhitungan masa kerja/12 x 1(satu) bulan gaji.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), merevisi peraturan mengenai THR tersebut pada tahun 2016. Revisi tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 6/2016.

Peraturan terbaru menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR. Selain itu, kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk pegawai kontrak. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu, (PKWT).

Petikan hikmah

Pemberian THR tentu memberikan kemanfaatan dan hikmah dari berbagai aspek. Hikmah ini penting sebagai refleksi agar THR mendapat nilai keberkahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa serta mendapatkan manfaat yang nyata dan berkelanjutan.

Pertama, adalah hikmah spiritual. THR diberikan jelang Lebaran atau perayaan Idul Fitri. Pemberian THR tentu sangat berarti bagi kaum muslim guna menyempurnakan persiapan merayakan kemenangan.

THR dapat digunakan penerima untuk kembali disedekahkan, membayar zakat, belanja kebutuhan, mudik, dan lainnya. Semua ini menjadi pelengkap ibadah Ramadhan dan menyongsong kemenangan Idul Fitri.

Tetapi penting diterapkan kepada penerima yang muslim jangan sampai efek pemberian THR adalah kontra produktif atau merusak ibadah. Misalnya digunakan berfoya-foya, melalaikan ibadah, dan lainnya.

Kedua, adalah hikmah sosial. Pemberian THR dapat menguatkan ikatan sosial di dunia kerja. Antara atasan dan bawahan akan terikat lebih kuat pasca pemberian THR.

Meskipun ini sudah menjadi kewajiban perusahaan atau lembaga, namun penerima umumnya tetap memberikan apresiasi personal terhadap atasannya. Apalagi jika THR yang diberikan melebihi rata-rata yang seharusnya diberikan.

Hal yang patut dihindari adalah jangan sampai pemberian THR ini menimbulkan kecemburuan sosial. Kecemburuan akan muncul dari pihak-pihak yang tidak mendapatkan THR.

Untuk itu, penerima THR penting untuk tidak secara mencolok dalam belanja dan terus memiliki kewaspadaan adanya potensi kriminalitas, seperti pencurian, perampokan, dan sejenisnya.

Ketiga, hikmah ekonomi. Perputaran ekonomi akan terjadi pasca pemberian THR. Aktivitas belanja penerima THR di pasar atau lokasi lain akan turut membantu roda perekonomian, khususnya bagi pedagang kecil atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Jika perputaran ini terus membentuk siklus, maka tidak mustahil akan turut memperbaiki roda perekonomian daerah hingga nasional. Untuk itu, patut dihimbau agar penerima THR membelanjakan secara proporsional dan memilih pasar tradisional, pelaku UMKM, dan produk-produk dalam negeri.

Keempat, hikmah politik. Hikmah ini dapat dipetik hanya pada lingkaran sektor politik termasuk pemerintahan. Pemberian THR kepada PNS, pensiunan, dan tenaga honorer dapat merengkuh hati penerima dalam loyalitas politiknya. Apalagi, pemberian THR dilakukan lebih besar dan sasaran yang lebih luas.

Hal yang harus diwaspadai adalah adanya aroma politik "gentong babi" terkait pemberian THR ini. Penerima harus disadarkan bahwa THR sudah menjadi haknya. Urusan dukungan politik adalah bab lain dengan pertimbangan yang lebih komprehensif nantinya.

Hikmah positif tentu harus dipetik. Sedangkan hikmah negatif mesti dihindari dan diantisipasi. Bagaimanapun, THR di era kini sudah menjadi hak pekerja, bukan karena sikap dermawan atasan atau pemimpin.

Untuk itu, publik mesti mengawasi terjaminnya THR dan mengawasi perilaku sosial terkait dinamika pasca pemberian THR. Politisasi THR mesti dihentikan.♦

Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×