kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilai kinerja holding BUMN perkebunan


Jumat, 06 Juli 2018 / 15:46 WIB
Menilai kinerja holding BUMN perkebunan


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Konsolidasi bisnis menjadi penting dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Ini menjadi tantangan utama bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor perkebunan. Terdapat 14 BUMN yang mengelola usaha perkebunan, mulai dari PT Perkebunan Nusantara (Perseroan) atau PTPN I sampai PTPN XIV. Mereka terfragmentasi dalam berbagai lini bisnis perkebunan dan malah saling bersaing satu sama lain sehingga tak kompetitif.

Sejak tahun 2014, pemerintah melakukan konsolidasi bisnis melalui pembentukan holding BUMN sektor perkebunan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III, pemerintah menetapkan PTPN III sebagai induk usaha (holding) dari semua PTPN di Indonesia.

Holding ini mengontrol luas lahan perkebunan sebesar 991.000 hektare dengan komposisi sebagai berikut: perkebunan sawit (51,8%), tebu (20,1%), karet (16,6%), teh (3,1%), kopi (1,3%), kakao (0,6%), dan tembakau (0,1%). Total asetnya Rp 115,5 triliun dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 33 triliun- Rp 35 triliun per tahun.

Lini bisnis di perkebunan sawit jadi kunci meningkatkan kinerja perusahaan. Masalahnya, persaingan di lini bisnis ini sangat ketat karena berhadapan langsung dengan perusahaan multinasional yang mengontrol penguasaan lahan dan pasar, seperti Wilmar Group, Musim Mas Group, Golden Agri Resources Group, Salim Group, dan Sime Darby Group. Jika tak dikonsolidasikan menjadi holding, sulit bagi PTPN bisa bersaing. Malahan sudah dikonsolidasi pun, penguasaan pasarnya baru sebesar 5%-6%.

Holding selain meningkatkan penguasaan pasar, juga bertujuan memperbaiki kinerja keuangan. Sudah lazim kiranya perusahaan perkebunan plat merah ini mengalami kerugian tiap tahunnya. Banyak persoalan, salah satunya ketidakmampuan bersaing dalam pasar yang kompetitif dan inefisiensi yang disebabkan pengelolaan yang kurang profesional.

Pembentukan holding sekaligus penambahan penyertaan modal negara sebesar Rp 10,1 triliun kepada PTPN III untuk memperkuat proses restrukturisasi usaha. Hasilnya cukup menunjukan perbaikan. Setelah berjalan tiga tahun, terjadi peningkatan aset dari Rp 65,6 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 115,5 triliun pada tahun 2017 atau melonjak 76%. Laba bersih juga terdongkrak dari Rp 675,6 miliar menjadi Rp 1,1 triliun pada periode yang sama. Walaupun pada tahun 2016 sempat mengalami kerugian.

Tak hanya kinerja keuangan yang membaik, efisiensi juga terjadi. Pada tahun 2014, rasio laba bersih terhadap pendapatan usaha hanya 1,7%, pada 2017 meningkat menjadi 3,6%. Salah satu penyumbang efisiensi adalah restrukturisasi sumber daya manusia terutama pada level manajemen puncak dan keberhasilan manajemen melakukan restrukturisasi utang.

Penguatan strategi bisnis

Tapi dibalik keberhasilan tersebut banyak masalah yang dihadapi. Pertama, kondisi cashflow perusahaan masih bermasalah dan perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya. Terutama pada beberapa entitas anak perusahaan seperti PTPN I, PTPN II, PTPN VII, PTPN VIII, PTPN IX, PTPN XIII, dan PTPN XIV. Mereka selalu mencatatkan kerugian dan tak bankable.

Kedua, semakin menurunnya produktivitas lahan. Penyebabnya antara lain semakin menuanya umur tanaman sehingga perlu direvitalisasi dan diremajakan. Tapi terkendala oleh persoalan keuangan. Selain itu, banyak lahan yang berkonflik dan belum jelas penyelesaiannya. Ini menganggu kinerja produksi.

Ketiga, nilai tambah usaha masih rendah karena masih berkutat pada sektor hulu. Padahal, perkembangan pasar komoditas perkebunan saat ini telah berubah, dari hanya sekedar penyediaan bahan mentah menjadi bahan siap jadi.

Perlu kerja keras untuk memperkuat kinerja. Langkah strategis yang perlu segera dilakukan adalah memperkuat kinerja keuangan. Besarnya rasio utang terutama utang jangka pendek sangat menganggu kinerja keuangan. Restrukturisasi utang perlu terus dilakukan sambil melakukan efisiensi pengelolaan keuangan.

Saat ini, debt to eguity ratio masih tinggi yaitu 117,3%, yang artinya beban utang terhadap modal perusahaan masih tinggi. Di saat yang sama return of asset (ROA) sangat rendah yaitu 0,95%, kalah dibandingkan perusahaan lain di sektor perkebunan.

Untuk itu, strategi ekspansi yang baik menjadi kunci dalam penguatan kinerja. Pertama, lewat penguatan pada lini bisnis utama yaitu kelapa sawit. Saat ini, kebutuhan pasar minyak sawit tumbuh baik terutama pada produk turunan seperti minyak goreng dan biofuel. Seharusnya, PTPN menjadi pemain utama di lini bisnis ini karena memiliki sumber daya menuju kesana.

Tapi, prospek bisnis sektor hilir ini tak digarap oleh PTPN karena fokus lebih ke sektor hulu. Ini masalah klasik. Seharusnya pengembangan bisnis jauh hari diarahkan ke sektor hilir. Industri minyak goreng selain profitable juga dapat membantu pemerintah mengatasi masalah inflasi karena penyumbang utama inflasi. Pasar di industri ini juga sangat besar, tak hanya pasar domestik tapi juga pasar ekspor.

Industri biofuel juga berkembang pesat sejak diberlakukannya kebijakan mandatory B20 yaitu campuran 20% biofuel ke dalam solar. Kebutuhan pasar mencapai 4,8 juta ton setiap tahun. Pasar biofuel juga didukung oleh pemerintah melalui program subsidi sehingga secara kelayakan bisnis, sektor ini sangat menjanjikan. Sayang, tak ada satupun PTPN yang menggarap bisnis ini.

Kedua, ekspansi bisnis perlu juga diarahkan untuk penguatan program kemitraan antara PTPN dengan pekebun rakyat. Bila dikelola dengan baik, model kemitraan ini justru bisa meningkatkan efisiensi. Selain itu, dampaknya terhadap kesejahteraan pekebun rakyat semakin besar. Ini dapat menjadi branding yang baik dalam pasar.

Ketiga, meningkatkan komitmen pengelolaan usaha berkelanjutan. Isu ini jadi sangat penting dalam pasar minyak nabati global saat ini. Pasar memprioritaskan produk yang berkelanjutan. Pasar ini haruslah jadi prioritas bagi pengembangan usaha. Maka, penerapan prinsip profit, planet, dan people dalam aktivitas bisnis adalah suatu keharusan karena inilah prinsip bisnis perkebunan masa depan.•

Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Ekonomi Auriga Nusantara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×