kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menelisik paket bauran kebijakan BI


Jumat, 02 Maret 2018 / 15:41 WIB
Menelisik paket bauran kebijakan BI


| Editor: Tri Adi

Membuka tahun 2018 ini, Bank Indonesia (BI) meluncurkan bauran kebijakan untuk mendorong intermediasi dan pendalaman pasar keuangan. Pada area moneter, misalnya, bank sentral mempercepat implementasi giro wajib minimum (GWM) rata-rata dari sebesar 1,5% menjadi 2%.

Lantas di area kebijakan makroprudensial, BI akan menerapkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM). Beragam kebijakan tersebut sejatinya memberi sinyal yang cukup jelas bagi sektor perbankan dan pelaku pasar,  yakni menambah likuiditas dan membuka ruang gerak bank di pasar keuangan

Namun tidak mudah mendorong intermediasi sekaligus bertindak hati-hati ditengah risiko kredit yang  masih dipersepsikan masih tinggi. Bahkan terdapat kekhawatiran RIM justru meningkatkan risiko bank serta semakin menjauhkan bank dari pembiayaan sektor riil akibat banyak bermain di pasar keuangan. Imbasnya, efektivitas kebijakan pun menjadi pertanyaan. Mampukah relaksasi bauran kebijakan BI kali ini lebih bergigi?

Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah permasalahan tersebut. Ini terkait dengan intermediasi bank agar transmisi dapat dipahami.

Pertama, kebijakan reformulasi suku bunga kebijakan Bank Indonesia memang perlu amunisi tambahan. Sejak diluncurkan pada bulan Agustus 2016 yang lalu, bank sentral telah menurunkan BI 7 Day Repo Rate sebesar 100 Bps. Bahkan sejak awal tahun 2016, BI telah menurunkan suku bunga kebijakan 200 basis poin. Harapannya tentu saja supaya bisa mendorong pertumbuhan kredit.

Namun transmisi suku bunga pada jalur kredit masih terbatas. Suku bunga kredit mulai turun, namun besarannya masih saja tertahan. Ini terjadi karena pihak perbankan masih selektif dalam penyaluran kredit karena risiko kredit yang masih cukup tinggi. Ini bisa tercermin dari pertumbuhan kredit November 2017 sebesar 7,5% (year on year atau yoy) lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,5% (yoy).

Untuk itu, perlu stimulus lanjutan melalui pelonggaran GWM rata-rata. Apalagi, penurunan suku bunga kebijakan semakin terbatas di tengah tren kenaikan suku bunga global. Percepatan implementasi GWM rata-rata dapat dipersepsikan penguatan sinyal relaksasi ke pasar sekaligus menambah likuiditas Bank.  

Kedua, perlu dibuka jalur aliran likuiditas bank ke perekonomian. Prinsipnya adalah uang harus kembali ke perekonomian. Jika tidak, tambahan aliran likuiditas akan kembali masuk ke Bank Indonesia. Berdasarkan network analysis atas national balance sheet, bank menempatkan dananya di BI ketika menahan penyaluran kredit. Pola perilaku bank ini dikonfirmasi dengan tingginya posisi mingguan operasi moneter BI yang bisa menyentuh Rp 400 triliun selama tahun 2017.

Pilihan perluasan jalur intermediasi terdapat pada pendalaman pasar keuangan. Korporasi sebenarnya banyak membutuhkan pendanaan di luar bank, namun masih terhambat pasar keuangan tidak likuid sehingga yang terjadi adalah price discovery sulit dilakukan. Sudah begitu, perilaku investor dalam obligasi korporasi cenderung hold to maturity seiring dengan terbatasnya supply. Padahal banyak korporasi yang layak memperoleh pembiayaan dengan ongkos yang terbilang kompetitif.

Sebagai pemilik likuiditas terbesar di perekonomian, bank perlu didorong untuk masuk ke pasar keuangan. Oleh karena itu, dimasukkan komponen surat berharga ke dalam perhitungan intermediasi bank. Jika pada ketentuan GWM LFR yang lama bank didorong sebagai penghimpun dana, maka relaksasi kebijakan RIM akan mendorong bank sebagai pemasok likuiditas pasar keuangan.

Melalui kebijakan rasio intermediasi makroprudensial tersebut, bank akan memiliki pilihan dalam pembiayaan ekonomi. Likuiditas berlebih tidak boleh tertimbun lama di bank sentral. Itulah transmisi kebijakan rasio intermediasi makroprudensial yang diharapkan.

Pasar sekunder

Selanjutnya, dapat dipahami terdapat kekhawatiran pembiayaan bank hanya berputar di pasar sekunder saja. Namun kebutuhan riil pembiayaan ekonomi juga perlu dipertimbangkan. Faktanya, perkembangan pasar keuangan terakhir cukup marak.

Emisi obligasi korporasi baru sepanjang tahun 2017 tumbuh 40,23% mencapai Rp 161 triliun. Emisi medium terms notes juga meningkat hampir dua kali lipat. Imbal hasil yield obligasi juga menurun tajam mencapai 200 basis poin menjadi 7,7% untuk obligasi AAA. Begitu pula cost of fund yang semakin kompetitif dibandingkan kredit bank. Artinya, kebutuhan perusahaan atas pendanaan pasar keuangan memang nyata.

Regulasi dan pengawasan mikroprudensial sebenarnya juga membatasi ruang gerak bank untuk bermain-main di pasar keuangan. Ini menunjukkan bahwa bank harus mempertimbangkan regulasi bobot risiko untuk perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko serta supervisory action yang dilakukan oleh pengawas bank.  

Tantangan ketiga adalah bagaimana menjaga perilaku bank agar dia tetap hati-hati di tengah relaksasi kebijakan. Terdapat perilaku bank yang cenderung lebih berani ambil risiko jika ekonomi meningkat namun terlalu berhati-hati di tengah ekonomi yang menurun. Oleh karena itu, keberadaan instrumen penyangga likuiditas makroprudensial menjadi komplemen saat ini. Di tengah relaksasi kebijakan intermediasi, bank perlu mengelola likuiditas lebih baik dengan menjaga kepemilikan atas aset-aset keuangan berkualitas tinggi. Bank Indonesia dapat mengubah besaran penyangga likuiditas makroprudensial berdasarkan siklus keuangan.

Dus, relaksasi kebijakan bank sentral tentu tidak bergerak di ruang hampa. Perlu dukungan kebijakan antar otoritas mendorong intermediasi yang hati hati. Otoritas mikroprudensial bisa mengawasi perilaku ambil risiko bank dan menggunakan kewenangan supervisory action. Kebijakan fiskal juga dapat memberikan stimulus pembiayaan investasi sekaligus kepastian bagi investor. Sebab bagaimanapun, kredit tidak akan tersalur jika permintaan belum bergerak.

Respon bank maupun pelaku ekonomi lainnya bisa berbeda dengan kalkulasi awal. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan stabilitas sistem keuangan perlu terus dijaga untuk memastikan relaksasi intermediasi bank dapat berjalan dengan hati-hati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×