Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Memasuki bulan Ramadan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada bulan April sebesar 0,44%. Dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, terjadi lonjakan yang signifikan yang didorong inflasi bahan makanan dan inflasi pada kelompok transportasi. Kedua kelompok pengeluaran tersebut memberikan andil paling besar dalam inflasi April 2019.
Untuk bahan makanan, kenaikan tertinggi pada subkelompok bumbu-bumbuan yaitu bawang merah, bawang putih, dan cabai merah. Sedangkan untuk kelompok padi-padian seperti beras mengalami deflasi (penurunan harga) sebesar 1,15%. Untuk kelompok sandang, sudah mulai terjadi kenaikan harga sehingga mengakibatkan inflasi 0,15%. Ini sangat wajar karena Hari Raya Idul Fitri identik dengan pakaian dan perlengkapan ibadah baru.
Kelompok transportasi yang menjadi penyumbang terbesar kedua inflasi April didorong oleh kenaikan tarif angkutan udara. Kenaikan ini telah mendorong inflasi dalam empat bulan terakhir. Jika sebelumnya masyarakat begitu menikmati era penerbangan murah, kini hanya kelas ekonomi menengah ke atas saja yang mampu naik pesawat.
Kondisi ini semakin memprihatinkan karena menjelang Lebaran, banyak orang akan pulang kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga. Jika untuk dalam pulau, masyarakat masih bisa melakukan perjalanan dengan jalur darat, maka untuk perjalanan antar pulau maka pilihan satu-satunya hanyalah pesawat untuk efektifitas waktu. Ini akan menurunkan daya beli penduduk karena dengan adanya permintaan yang tinggi, maka pengelola angkutan akan menggunakan tarif batas atas. Pemerintah pun telah menurunkan tarif batas atas angkutan udara sebesar 12%-16%. Harapannya akan mengurangi beban pengeluaran penumpang terlebih menjelang hari raya.
Jika mencermati Indeks Harga Konsumen (IHK) berdasarkan tahun dasar 2012, kenaikan harga barang tertinggi pada kelompok bahan makanan dan kelompok makanan minuman jadi. Pada April 2019, indeks harga konsumen untuk bahan makanan sebesar 146,9. Artinya dalam tujuh tahun terakhir telah terjadi kenaikan harga bahan makanan sebesar 46,9%. Dengan kenaikan harga tersebut berarti bahwa daya beli penduduk mengalami penurunan. Jika di 2012 dengan jumlah uang yang sama bisa membeli bahan makanan sebesar 100 buah, maka saat ini hanya mampu membeli bahan makanan sebanyak 53 buah saja.
Kenaikan harga bahan makanan akan sangat berpengaruh ke semua lapisan masyarakat. Terlebih bagi penduduk miskin, yang sebagian besar pengeluarannya untuk membeli makanan. Beruntung saat ini masa panen raya sehingga tidak terjadi kenaikan harga beras yang mendorong inflasi.
Namun, turunnya harga beras ini berpengaruh terhadap kesejahteraan petani di pedesaan. Ini tercermin pada Nilai Tukar Petani (NTP) yang mengalami penurunan dalam empat bulan terakhir. Pada bulan April 2019, indeks NTP sebesar 102,23 atau menurun 0,49% dibanding Maret. Penurunan NTP ini disebabkan kenaikan harga produk pertanian yang lebih kecil dibanding dengan kenaikan harga kebutuhan rumah tangga petani. Indeks harga yang diterima petani sebesar 138,4 sedangkan indeks konsumsi rumah tangga 140,85. Artinya dalam tujuh tahun terakhir (tahun dasar 2012), telah terjadi kenaikan harga barang konsumsi rumah tangga petani sebesar 40,85% atau lebih besar dibanding dengan kenaikan harga produk pertanian yang nilainya 38,4%.
Perubahan pola konsumsi
Inflasi pedesaan sebesar 0,81% atau lebih tinggi daripada inflasi perkotaan. Kelompok yang memberikan andil terbesar pada inflasi saat ini adalah kelompok bahan makanan. Meski petani di desa memproduksi padi sendiri, namun untuk bahan makanan yang lain mereka harus membeli. Selain itu, yang harus dicermati bahwa sebagian besar pendapatan (56,28%) penduduk pedesaan dibelanjakan untuk komoditas makanan. Bahkan untuk penduduk 20% terbawah, pengeluaran untuk konsumsi makanan sebesar 66,16%. Sangat berbeda dengan kelompok ekonomi 20% teratas, pengeluaran makanannya hanya 38,5% dari seluruh pengeluaran.
Kondisi ini mengakibatkan kenaikan harga bahan makanan bisa sangat mempengaruhi daya beli dan kesejahteraan penduduk terutama ekonomi bawah. Kenaikan harga bahan makanan akan memicu kenaikan garis kemiskinan yang mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin.
IHK (tahun dasar 2012) makanan minuman jadi pada April 2019 sebesar 145,60. Artinya dalam tujuh tahun terakhir telah terjadi kenaikan harga makanan/minuman jadi sebesar 45,60%. Ini tidak terlepas dari perubahan pola konsumsi penduduk. Konsumsi makanan jadi (makanan matang, siap santap) mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan partisipasi penduduk yang mengkonsumsi makanan dan minuman jadi pada 2018 mencapai 99,29% (Susenas, 2018).
Jika pada 2010 konsumsi makanan jadi sebesar 24,86%, maka pada 2018 telah melonjak menjadi 33,98% atau lebih dari sepertiga pengeluaran makanan penduduk Indonesia (BPS, 2018). Pada kelompok makanan, pengeluaran makanan jadi menempati pengeluaran terbesar baik bagi penduduk desa maupun penduduk perkotaan. Pengeluaran untuk makanan jadi rata-rata sebesar Rp 189.223 per minggu atau hampir tiga kali lipat pengeluaran untuk padi-padian.
Momentum Ramadan dan Idul Fitri yang akan selalu hadir setiap tahun, seharusnya bisa diantisipasi lebih awal. Ketersediaan pasokan bahan makanan akan menjamin harga yang stabil dan terjangkau. Rata-rata konsumsi untuk berbagai jenis bahan makanan dihitung oleh BPS setiap tahun melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Hasilnya dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam memperkirakan kebutuhan bahan makanan setiap bulan dan setiap tahun. Sebagai contoh, rata-rata konsumsi beberapa komoditas per kapita per minggu untuk beras sebesar 1,547 kg, bawang merah rata-rata 0,529 ons, untuk bawang putih 0,330 ons, dan cabe merah 0,34 ons.
Tidak dapat dipungkiri, kondisi geografis Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote menjadi tantangan tersendiri dalam distribusi bahan pangan tersebut. Namun, dengan konektivitas yang saat ini sudah mulai terhubung dengan tol laut, memungkinkan distribusi bahan pangan bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Yang menjadi fokus utamanya adalah antisipasi dan kecermatan dalam merencanakan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau.♦
Tasmilah
Statistisi Badan Pusat Statistik Kota Malang, Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
