kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kami melihat celah di bisnis unggas


Rabu, 17 Juli 2019 / 11:05 WIB
Kami melihat celah di bisnis unggas


Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Tri Adi

Sejak 2017, PT Berdikari (Persero) berusaha bangkit dari keterpurukan pasca-terlilit kasus suap menyuap. Pamor perusahaan yang sempat redup di perdagangan, kini mulai tampil di bisnis ayam. Berdikari ingin berbisnis peternakan dari hulu sampai hilir. Seperti apa strateginya? Eko Taufik Wibowo, CEO PT Berdikari (Persero) membeberkannya kepada jurnalis KONTAN, Asnil Bambani Amri.

Sebelum saya masuk PT Berdikari (Persero), saya terlibat dalam membuat peta kebijakan pangan dan komoditas. Setelah itu, saya mendapat amanah memimpin Berdikari tahun 2016. Saat itu, fokusnya adalah pengembangan peternakan dan menjaga pasokan peternakan di hulu.

Masalah pangan harus diselesaikan di hulunya, bukan di hilir. Kalau solusi di hilir adalah impor, itu akan menguras devisa. Ini berulang kali dilakukan dan tidak menyelesaikan masalah. Setiap tahun akan berulang lagi. Makanya, saya mencoba mengembangkan Berdikari masuk dalam industri peternakan di hulu.

Kemudian, saya menyusun rencana Berdikari berbisnis peternakan ayam dari hulu sampai hilir. Kami ingin masuk mulai dari bisnis bibit ayam, penggemukan, pabrik pakan, rumah potong, industri pengolahan, sampai produk olahan siap saji, seperti bakso, nugget, dan sosis. Bahkan, saya mendesain nanti kami bisa memiliki gerai tempat penjualan, termasuk armada food truck.

Meski semuanya belum tuntas, tapi saya sudah sekarang ada pada jalur. Tahap pertama adalah membuka bisnis induk, yakni dari indukan ayam atau grand parent stock (GPS). Kami mulai dari impor 18.000 ekor, sekarang populasinya lebih dari 100.000 ekor. GPS kemudian menghasilkan indukan ayam atau parent stock (PS). Ayam PS ini berkembang pesat dan setiap panen sold out. Kami memiliki kandang hasil kerjasama dengan peternak di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Setelah itu, kami merambah ke hilir, yaitu ke penggemukan ayam final stock (FS) broiler. Jika panen, ayam ini juga bisa masuk pasar atau masuk ke industri pengolahan. Ini sedang kami lakukan dan kami sedang menambah kandang.

Selanjutnya, yang sedang kami susun adalah bisnis olahan ayam, seperti sosis, nugget, bakso, dan lainnya. Kami targetkan bisnis ini bisa dilakukan tahun ini. Kami juga berencana memperkuat bisnis inti dengan rencana akuisisi pabrik pakan.

Langkah membangun kembali Berdikari tak mudah. Saat saya masuk tahun 2016, perusahaan dalam kondisi morat-marit. Tugas pertama saya saat masuk adalah memikirkan bagaimana perusahaan ini tidak berdarah-darah terus. Saya sempat mikir, apakah saya bisa menghidupkan perusahaan ini?


Memetakan masalah

Equity perusahaan minus, utang sampai Rp 600 miliar. Sementara pendapatan hanya mengandalkan setoran anak usaha. Karena sudah berkomitmen, saya memetakan masalah terlebih dahulu. Hasilnya, ada empat masalah yang saya temukan di Berdikari saat itu.

Pertama adalah masalah finansial akibat beban utang. Masalah ini saya selesaikan dengan cara mengajukan penjualan aset ke Menteri Keuangan. Saat itu, kami mendapatkan Rp 100 miliar yang membuat kami bisa bernafas, karena beban utang perusahaan bisa mencapai Rp 600 miliar.

Kedua, adanya masalah sumber daya manusia yang tidak punya kapasitas sesuai dengan harapan. Saya melakukan assessment dan hasilnya saya mengurangi dari 160 karyawan menjadi 60 orang.

Namun, saya menghadapi masalah lain, yaitu budaya kerja. Sementara, saya terbiasa disiplin di perbankan. Solusi yang saya susun adalah membuat briefing setiap Senin pagi. Itu membuat karyawan datang pagi-pagi.

Bagi saya, masalah disiplin ini adalah hal utama, karena berkaitan dengan integritas. Setelah disiplin membaik, kapasitas karyawan mulai teratasi. Saat briefing, karyawan terbiasa melakukan evaluasi dan melakukan perencanaan.

Ketiga adanya masalah hukum karena kelalaian pengelolaan perusahaan pada periode sebelumnya. Terkait masalah hukum ini, saya melakukan negosiasi. Saya sampaikan, jika masalah hukum muncul karena utang atau kewajiban yang tak terpenuhi, saya tegaskan komitmen untuk menyelesaikannya. Namun jika ada masalah hukum karena pelanggaran, saya minta untuk diselesaikan secara prosedur hukum.

Keempat, adanya masalah dalam bisnis. Saat saya masuk, tak ada pendapatan kecuali dari anak perusahaan. Sebelumnya kita berbisnis sapi, tapi saya tunda dulu di awal karena kami harus bangun reputasi dulu. Berdikari jatuh saat berbisnis sapi. Maka itulah, saya memilih bisnis ayam dulu, mulai dari induk ayam atau GPS.


Piawai mencari celah

Kami berbisnis GPS karena pemainnya swasta semua. Hanya kami BUMN yang berbisnis hulu ini. Padahal peluangnya besar dan hanya dinikmati perusahaan swasta. Setelah tiga tahun berjalan, kami membuktikan diri sebagai perusahaan pemasok induk ayam atau PS terbesar ketiga di Indonesia.

Dalam melakoni bisnis PS ini, kami berhadapan dengan perusahaan swasta yang menggurita. Mereka menguasai hulu sampai hilir. Tapi kami masih melihat ada celah di bisnis unggas ini. Apalagi kita tahu, bisnis protein hewani ini punya peluang tumbuh besar. Apalagi konsumsi kita masih rendah.

Dalam kompetisi ini, kami mampu bersaing. Dari sisi harga kami bisa menawarkan harga lebih murah, sehingga peternak mulai mendekati kami. Tapi belakangan, kompetitor kami sudah menyadari posisi kami yang menjadi penyeimbang pasar. Kami ingin, harga ayam tidak dikendalikan perusahaan swasta.

Kami tahu, pemerintah kesulitan mengakses stok ayam, baik itu ayam GPS, GP, maupun ayam FS. Semenjak ada kami, setidaknya pemerintah mengetahui data dari kami. Kami terbuka karena diaudit. Dari data itu, pemerintah bisa membuat kebijakan impor atau membatasi impor GPS. Berdikari membentuk keseimbangan baru di bisnis ayam.

Kami juga diminta pemerintah impor sapi untuk perusahaan penggemukan. Kami lakukan kemitraan pengembangan sapi lokal dengan peternak di Lebak dan Bojonegoro. Jumlah sapinya sudah 100 ekor dengan pola bisnis bagi hasil. Saya berharap nanti bisa 1.000 ekor per kabupaten agar populasi sapi kita meningkat dan kita dapat swasembada sapi.

Eko Taufik Wibowo
CEO PT Berdikari (Persero)

Terima pesanan sapi kurban dari Presiden Jokowi
 
Bukan tugas ringan saat mengubah haluan bisnis sebuah perusahaan yang sudah berdiri sejak 1966 silam. Tapi itulah yang dilakukan oleh Eko Taufik Wibowo, sejak resmi menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) di PT Berdikari (Persero). Di tangan Eko, perusahaan peternakan yang lama menekuni bisnis ekspor, impor, serta perdagangan pupuk itu memutuskan berbisnis peternakan ayam dan sapi di sektor hulu.

Eko yang besar dan lama bekerja di perbankan merasa tak canggung harus berurusan dengan ternak dan tetek-bengeknya. Pria kelahiran Medan, Sumatra Utara itu seakan tak mempersoalkan latar belakang keahlian sebelumnya. "Saya justru menemukan adanya perbedaan mengelola bisnis benda mati dan bisnis makhluk hidup seperti ayam ini," kata alumnus Fakultas Teknik jurusan Teknik Geologi di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta itu.

Berbekal segudang pengalaman di perbankan, Eko sigap dan piawai mencari jalan keluar terhadap utang perusahaan yang menumpuk. Pengalamannya di perbankan membuat dirinya bisa mencari jalan ke luar dari utang bank yang melilit perusahaan. Eko juga dengan sigap mengendalikan perusahaan saat Berdikari kehilangan popularitas karena pucuk pimpinan sebelumnya terjerat kasus suap.

Saat mendapatkan kepercayaan, Eko sadar tak mungkin bagi dia melanjutkan bisnis sebelumnya yang pamornya sudah luntur. Alhasil, pria yang pernah mengenyam pendidikan Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada (UGM) itu berusaha mengambil celah dari bisnis peternakan yang belum ditekuni oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 'Selama ini, bisnis pangan di hilir dan itu tak menyelesaikan persoalan, makanya saya fokus membawa Berdikari di hulu dulu," kata Eko.

Setelah tiga tahun menekuni bisnis pangan ini, tantangan terberat yang kini dihadapi Eko adalah soal regulasi. Sejak menjabat sebagai CEO di Berdikari pada Desember 2006 lalu, ia kesulitan dalam menyesuaikan regulasi peternakan di negeri ini. "Seharusnya industri peternakan cukup diatur satu pintu, seperti industri keuangan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan," katanya.

Eko juga berharap ada holding perusahaan pangan BUMN yang bisa menjadi induk bersama. Dengan demikian, antara perusahaan BUMN bisa bersinergi dalam mengusung dan mengawal permintaan dan pasokan bahan pangan. Sinergi menjadi penting, agar pembuatan kebijakan pangan bisa dilakukan dalam satu koordinasi.

Selain regulasi, Eko berharap adanya pengakuan terhadap Berdikari sebagai perusahaan peternakan di Indonesia. Salah satu caranya adalah, dengan memesan hewan kurban kepada Berdikari, seperti yang dilakukan Presiden Joko Widodo. "Pesanan dari Presiden itu membuktikan bahwa kami merupakan perusahaan peternakan," kata Eko.♦

Asnil Bambani Amri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×