kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Empat tahun perang data kemiskinan


Jumat, 30 November 2018 / 09:55 WIB
Empat tahun perang data kemiskinan


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Pemerintah selama empat tahun mengklaim telah berhasil menurunkan tingkat ketimpangan sosial, tingkat gini ratio turun dari 0,41 menjadi 0,38. Pencapaian itu tak lepas dari berbagai program yang dicanangkannya seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga dana desa.

Namun klaim pemerintah bertolak belakang dengan data yang pernah disebutkan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyatakan sekitar 100 juta orang masuk dalam kategori miskin di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). SBY menyebut, angka itu diperoleh dari data Bank Dunia.

Meski data itu dibantah Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan yang menilai dalam perhitungan poverty line atau garis kemiskinanyang dilakukan Bank Dunia tidak menggunakan kurs yang digunakan sehari-hari. Tapi nilai tukar yang memperhatikan paritas daya beli sebesar Rp 5.639.

Perhitungan angka kemiskinan bila menggunakan skema saat ini bisa didapat angka kemiskinan sebesar 4,6% dan orang di bawah garis kemiskinan sekitar 12,15 juta jiwa. Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan 9,82% atau sekitar 25,96 juta jiwa.

Bank Dunia sudah merilis data ketimpangan di Indonesia, misalnya, tahun 2016 yang kemudian dicuatkan lagi oleh Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno. Di tingkat elite, data kemiskinan Bank Dunia juga dikutip Prabowo Subianto dan Amien Rais. Intinya laporan itu mengkritik pemerintahan Jokowi soal ketimpangan aset kepemilikan tanah.

Laporan hasil riset Bank Dunia itu berjudul 'Ketimpangan yang Semakin Lebar'. Bank Dunia menilai, pengentasan kemiskinan mulai stagnan, dengan penurunan yang mendekati nol pada tahun 2014. Ketimpangan pendapatan naik dengan cepat dan hampir sepertiganya dari ketimpangan kesempatan. Pada 2015, Indonesia menjadi negara yang semakin tidak setara. Disebutkan pula soal ketimpangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pertanyaan, mengapa kalangan elite seakan terlalu mempedulikan hasil laporan Bank Dunia? Laporan Bank Dunia mungkin saja sebetulnya ingin berharap supaya bangsa ini kembali menjadi pasiennya. Karena secara tersirat melalui laporan itu hendak menawarkan sesuatu pada pemerintah.

Bank Dunia, seperti juga International Monetery Fund (IMF) seperti tengah mencari peluang untuk kembali menjerat negara berkembang seperti Indonesia yang tengah mengalami krisis moneter dimana rupiah sempat menyentuh Rp 15.000 per dollar AS imbas dari krisis ekonomi global.

Harus bisa mandiri

Para elite bangsa ini jangan terlalu panik dengan keadaan menghadapi hal-hal semacam laporan Bank Dunia, sehingga misalnya, menjadi atokan untuk agenda penting pemerintahan. Apalagi dengan ekspektasi Bank Dunia satu-satunya harapan meminimalisir kondisi perekonomian Indonesia.

Seperti kita tahu, dunia masih dilanda krisis moneter parah dan hingga kini belum ada solusi cukup mapan untuk menyelesaikan. Krisis yang berdampak tak hanya di AS, tapi juga melanda Eropa dan Asia. Sebuah peristiwa yang membuat para ekonom sementara waktu berkesimpulan, dunia mengalami krisis global. Hal itu juga yang menandai sistem ekonomi pasar atau liberalisasi ekonomi ternyata bukan ideologi terakhir yang dapat membawa dunia pada cita-cita kesejahteraan.

Bank Dunia dianggap sedang menambal-sulam kepincangan sistem ekonomi yang dijalankannya, seakan-akan ingin meyakinkan kepada publik bahwa apa yang pernah ditorehkan Francis Fukuyama (1999) salah satu ideolog pendukung ekonomi pasar, tentang the end of history and the last men adalah benar. Fukuyama pernah menganalisis bahwa kapitalisme adalah satu-satunya ideologi ekonomi dunia terakhir yang akan membawa manusia pada kesejahteraan, setelah terjadi kebangkrutan sosialis.

Padahal analisis Fukuyama banyak mengandung pesan dari warisan Washington Consensus, sebuah traktat ekonomi dari pemerintahan Washington yang kemudian melahirkan IMF dan World Bank. Lembaga finansial global oleh Joseph Stiglitz (2007) dalam Roaring Ninetees digambarkan seperti seorang dokter yang hendak mengobati pasien, tapi tak pernah menyembuhkan.

Stiglitz mengkritik lembaga keuangan internasional itu, yang sangat ambisius untuk menjadi dokter yang akan menangani pasiennya. Meskipun resep yang diberikan tidak ampuh atau bahkan asal-asalan sehingga tak pernah bisa menyembuhkan.

Pada 1997 misalnya, Indonesia terkena krisis moneter dahsyat karena saat itu terlalu banyak menanggung beban utang. Mengapa perekonomian Indonesia sebelum tahun 1997 yang digdaya itu kemudian langsung terpuruk seketika hanya karena terpaan krisis ekonomi?

Hal itu terjadii menurut Anne Booth karena biaya regulasi ekonomi nasional, yang kemudian disebut pola pembangunan itu, sebagian besar bersandar pada utang yang jumlahnya begitu masif. Sehingga ketika terjadi krisis ekonomi global, lembaga funding besar buru-buru menarik investasi dan utang di negara yang menjadi pasiennya. Saat itu, pemerintah Orde Baru terlalu percaya pada traktat Washington Consensus.

Sebelum 1997, perekonomian Indonesia ketika ditangani Bank Dunia dan IMF mulanya sangat menggembirakan karena pertumbuhannya melesat jauh. Namun kenyataannya pertumbuhan ekonomi itu meskipun menggembirakan tapi tidak sehat.

Salah satu bentuk sikap pemerintah yang harus ditunjukkan kini ialah bahwa ia jangan lagi mau didikte oleh gertakan Bank Dunia seperti krisis pangan, energi, kemiskinan, pengangguran dan lainnya, karena itu hanyalah sebuah perangkap. Yang pada intinya bertujuan supaya pemerintah mau menjadi pasien traktat Washington Consesus. Pemerintah harus menunjukan keberanian bahwa ia memiliki integritas untuk menyelesaikan dan membuat kebijakan strategisnya sendiri, tak ada yang lebih mengerti persoalan bangsa ini kecuali kita sendiri.

Dampak dari krisis ekonomi global ini masih sangat terasa. Tidak sedikit negara yang kembali mengulurkan tangan ke lembaga funding. AS sendiri mendapat dana talangan (bailout) sebesar US$ 350 juta untuk menutupi kredit macet yang terjadi karena banyak konsumer yang belum melunasi kreditnya.

Tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah sekarang untuk melakukan letter of intence lagi dengan Bank Dunia maupun IMF. Jika hal itu benar-benar dilakukan, pemerintah berarti mengulangi kesalahan pemerintah Orde Baru.

Ditengah tuntutan supaya pemerintah kembali ke barak dalam soal kebijakan ekonomi nampaknya harus dipikir ulang. Kembali ke barak dalam arti supaya pemerintah melakukan nasionalisasi ekonomi. Seperti renegosiasi setiap kebijakan ekonomi yang melibatkan korporasi asing.•

Ismatillah A Nu'ad
Peneliti Indonesian Institute for Social Research and Development

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×