kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DPR-ESDM sepakati asumsi ICP 2022, ini kata direktur CELIOS


Minggu, 13 Juni 2021 / 22:50 WIB
DPR-ESDM sepakati asumsi ICP 2022, ini kata direktur CELIOS
ILUSTRASI. Suasana?area Kilang RU IV Lomanis, Cilacap, Jawa?Tengah, Selasa (21/2).


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyepakati asumsi dasar awal untuk harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) tahun depan.

Di tahun 2022, asumsi dasar ICP yang disepakati sebesar US$ 55 hingga US$ 70 per barel. Asumsi ini lebih tinggi dari usulan di Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2022 yang sebesar US$ 55 hingga US$ 65 per barel.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat, ini akan berpengaruh terhadap pelebaran dari sisi pendapatan maupun belanja negara. Apalagi, bila pemerintah masih memberi subsidi energi bagi masyarakat.

Baca Juga: Harga minyak WTI gagal bertahan di level US$ 70 per barel, ini penyebabnya

Namun, dalam kesepakatan bersama dengan DPR tersebut, pemerintah menetapkan volume Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sebesar 14,80 hingga 15,58 juta kilo liter (kl) ini lebih rendah dari volume BBM bersubsidi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) 2021 yang sebanyak 16,30 juta kl.

“Dalam hal ini, pemerintah harus tetap berhati-hati akan dampak kenaikan harga minyak dunia karena bila harga bensin naik, maka orang miskin tanpa bantuan subsidi akan terpukul daya belinya sehingga ini jadi hambatan penurunan angka kemiskinan,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (13/6).

Sementara dari sisi penerimaan negara, naiknya harga minyak akan berdampak pada peningkatan penerimaan dari sisi komoditas migas, pertambangan, maupun perkebunan. Ia memperkirakan, peningkatan penerimaan ini akan berada di kisaran Rp 9,2 triliun.

Ke depan, Bhima memperkirakan potensi peningkatan harga minyak masih ada. Bahkan, bisa membengkak di kisaran US$ 70 hingga US$ 80 per barel. Seiring dengan pemulihan ekonomi negara industri seperti Amerika Serikat (AS) dan China yang membutuhkan pasokan energi dalam jumlah besar

Fenomena ini disebut temporary imbalances yang menunjukkan perebutan pasokan di pasar komoditas paska terjadinya krisis. Ketika PMI manufaktur global terus meningkat di atas level 50, bahkan global PMI JP Morgan mencatat kenaikan ke 56.3 pada April 2021 lalu.

Baca Juga: Punya prospek cerah, harga minyak dunia berpotensi menguat ke arah US$ 80 per barel

Tren rebound harga komoditas juga sejalan dengan fase yang terjadi tahun 2008 di mana kenaikan harga minyak mentah bertahan hingga 5 tahun. Puncak harga minyak dunia paska krisis subprime terjadi di 2014 di mana harga minyak menembus US$ 114 per barel.

Tak hanya itu, peningkatan harga komoditas juga pernah terjadi paska krisis Asia 1998 dan bertahan 6 tahun, dengan puncak di 2006 dengan harga minyak mencapai US$ 98 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×