kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DPR dan pemerintah tarik ulur soal holding migas


Jumat, 28 April 2017 / 12:04 WIB
DPR dan pemerintah tarik ulur soal holding migas


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakin, holding migas akan terbentuk akhir semester I-2017. Meski Presiden Joko Widodo menginginkan holding migas terbentuk dengan syarat aspek legal dan komersial yang lengkap.

Atas alasan dua kajian itu, Peraturan Presiden (PP) mengenai holding migas yang pada tahun lalu harusnya sudah beres, hingga kini masih tertunda.

Deputi Bidang Energi, Logistik, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat bilang, Presiden Jokowi meminta supaya pembentukan holding BUMN Migas perlu dikaji betul secara mendalam, dimulai dari aspek legal dan komersial. "Dikaji itu supaya berjalan dengan benar-benar proper dan governance-nya baik. Itu pesan presiden," terang dia di kantornya, Kamis (27/4).

Ia menjelaskan, Menteri BUMN Rini Soemarno menargetkan segala pembahasan persiapan holding harus bisa segera diselesaikan agar permintaan presiden segera tercapai. "Menteri menargetkan harus tahun ini, tapi saya optimistis semester pertama tahun ini bisa terbentuk. PP masih dibahas lintas kementerian," jelas Edwin.

Meskipun belum terealisasi secara formal implementasi sinergi antara Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN), menurut Edwin, sudah berjalan baik. Salah satu indikasinya, penurunan harga gas di wilayah Sumatra Utara yang sudah sejak lama dikenal sangat mahal.

Kemudian integrasi berbagai fasilitas gas yang pada akhirnya adalah mampu memberikan manfaat ke masyarakat. Ia memberikan contoh, di Jawa SPBG Pertamina sekarang sudah bisa dialiri gas yang didistribusikan oleh pipa Perusahaan Gas Negara (PGN). "Perkembangan ini menunjukkan sinergi operasi penyatuan operasional Pertamina dan PGN sangat feasible dan berdampak langsung ke masyarakat, baik untuk konsumsi maupun industri," tandasnya.

Sementara itu Yenni Andayani, Direktur Gas dan EBT Pertamina, menyatakan, tahap persiapan integrasi dengan PGN terus dilakukan, sambil menunggu keputusan resmi dari pemerintah. Pertamina dan PGN juga semakin baik dalam kerja sama. "Contohnya, dengan model pipa Duri-Dumai, Alhamdulillah kami telah menyelesaikan kesepakatan yang diperlukan supaya bisa segera melakukan kegiatan fisik," ungkapnya

Menurut Yenni, integrasi dalam penyelesaian infrastruktur, seperti yang terjadi di Duri-Dumai, harus terus dilakukan. Apalagi pangsa pasar dari Pertamina dan PGN terus bertambah, seiring dengan peningkatan permintaan gas.

Walhasil, infrastruktur merupakan hal yang sangat vital. "Ada kebutuhan pasar yang tidak bisa kita abaikan, tapi dari pemasok juga sudah ready. Kalau infrastruktur tidak terbangun, yang rugi bukan hanya pasar atau para pemasok, tapi PGN dan Pertamina kehilangan potensi bisnis," tandasnya.

DPR masih menolak

Sementara Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aria Bima bilang, saat ini pihaknya belum sepakat atas pembentukan holding BUMN, khususnya holding pertambangan.Argumennya, pembentukan holding tidak bisa hanya memakai PP.

DPR menganggap, terbitnya aturan PP 72/2016 atas pembentukan holding BUMN tidak sinkron dengan beberapa peraturan utama yang harus menjadi pertimbangan saat akan melakukan holding BUMN. Seperti Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara. "Terkait pembentukan holding, DPR cenderung menunggu revisi UU BUMN, supaya payung hukumnya jelas," terangnya kepada KONTAN, Kamis (27/4).

Yang menjadi kendala dalam pembentukan holding BUMN Pertambangan ini, kata Aria, adalah dasar penerbitan PP 72/2016. Menurut PP, pelepasan atau penjualan aset BUMN tidak lagi atas persetujuan DPR.

Menurutnya, pelepasan saham BUMN itu seharusnya tidak didelegasikan kepada Kementerian BUMN, melainkan oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu).

Menurut Arya, PP itu bukan tidak perlu, tapi cara pandangnya lintas sektoral, ada Kementerian yang harus dilibatkan. "Jadi hal yang semacam ini harus dicermati benar. Tidak sekedar menyimpulkan suatu permasalah, Jangan sampai berakibat liberalisasi BUMN," tegasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×