kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cukai dan perilaku


Selasa, 18 Desember 2018 / 15:15 WIB
Cukai dan perilaku


Reporter: Bagus Marsudi | Editor: Tri Adi

Rencana pemerintah untuk menerapkan cukai plastik sebagai bagian dari ekstensifikasi cukai yang dirancang pemerintah masih maju mundur. Meski niatnya kebijakan ini bakal diterapkan mulai tahun 2019, toh belum ada draf peraturan pemerintah yang beredar. Bahkan, pembahasan soal penambahan objek cukai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun masih menggantung.

Padahal, rencana ini sudah dilempar sejak tahun 2016 silam. Niat awalnya untuk menggenjot pendapatan negara dari cukai, yang selama ini hanya berasal dari tiga objek, yakni etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Di negara lain, objek cukai bisa puluhan. Ambil contoh, di India, ada 28 jenis barang, dan Jepang 24 produk. Jadi, tidak ada masalah jika objek cukai dikembangkan lagi.

Masalahnya, kenapa pemerintah terkesan maju mundur memutuskan objek cukai? Alasan klasiknya adalah perlu waktu persiapan lebih. Masyarakat belum siap. Industri masih keberatan. Belum ada produk pengganti jika tiba-tiba ada penurunan produksi objek cukai tersebut. Intinya, memang pemerintah belum siap untuk mengubah keadaan. Misalnya, menyangkut pengurangan penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari.

Mari kita belajar dari India. Di negara dengan 1,3 miliar penduduk lebih, penggunaan kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar, sudah berkurang drastis. Di supermarket, toko modern, bahkan warung-warung, penjual tidak menyiapkan tas kresek. Mereka memang menyediakan tas kain atau tas kertas. Tapi, semua berbayar dengan harga Rp 5.000 sampai Rp 10.000 (20-40 rupee). Sebagian pembeli sudah sadar, sehingga membawa tas sendiri.

Jajanan di pinggir jalan juga tidak memakai kemasan styrofoam atau mika. Mereka menggunakan bahan kemasan kertas. Bahkan, kadang hanya selembar kertas untuk mengemas cemilan, lalu dibuang. Alhasil, kalau melihat tumpukan sampah di Mumbai, misalnya, minim sampah dalam kemasan plastik. Selain lebih ramah ke alam, ada perubahan perilaku di masyarakat.

Beberapa tahun lalu, gerakan kresek berbayar sebenarnya cukup mulai membuat perilaku sebagian masyarakat berubah. Meski tidak selalu didasari kesadaran akan lingkungan, setidaknya perilaku berubah. Lebih dari urusan pendapatan negara, hal penting dalam kebijakan cukai sebenarnya adalah mengubah perilaku masyarakat.•

Bagus Marsudi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×