kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aprindo: Pelarangan kantong plastik di daerah berdampak pada bisnis ritel


Rabu, 21 November 2018 / 14:28 WIB
Aprindo: Pelarangan kantong plastik di daerah berdampak pada bisnis ritel
ILUSTRASI. Ilustrasi Penggunaan Tas Plastik Alias Tas Kresek


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyayangkan inkosistensi peraturan mengenai penggunaan kantong plastik di beberapa daerah. Asosiasi yang membawahi 40.000 gerai ritel modern ini menyampaikan saat ini penggunaan kantong plastik di beberapa daerah sudah dilarang dan berdampak pada bisnisnya secara umum.

Roy Mandey, Ketua Umum Aprindo menyampaikan bahwa pelarangan tersebut kurang tepat dilakukan, selain tidak dibarengi dengan upaya edukasi dan sosialisasi yang cukup. Kata pelarangan juga hanya menyasar ritel modern tidak diterapkan bagi segmen lainnya yang justru lebih banyak menggunakan kantong plastik ketimbang ritel modern.

“Kami tidak sepakat pada pelarangan tanpa edukasi, sosialisasi dan tanpa sertakan akademisi, pelaku usaha dan konsumen. Sehingga pelaku usaha tergerus karena konsumen melakukan pengurangan belanja dan bahkan membatalkan transaksi,” ujarnya, Rabu (21/11)

Dirinya menyampaikan komitmen untuk mendukung visi pemerintah untuk mengurangi 30% sampah dan menangani sampah sebesar 70% pada tahun 2025 mendatang. Hanya saja aturan pelarangan di tingkat daerah justru membuat upaya tersebut kontra produktif.

“Di dalam industri ritel tidak ada yang melarang kantong plastik, yang ada mengharuskan untuk ekolabel baik oxo degradable atau bio degradable yang menjadi aturan baku. Ada beberapa negara yang menerapkan pembayaran kantong plastik untuk mengurangi penggunaan kantong plastik, sedangkan di Indonesia ada beberapa daerag yang melakukan pelarangan yang diatur Perwali atau Perkab masing-masing daerah,” lanjutnya.

Menurutnya, sejauh ini penggunaan plastik standar SNI ekolabel yang mudah terurai baik oxo degradable atau bio degradable sudah diimplementasikan di gerai-gerai anggotanya. Oleh karena itu, menjadi kontra produktif bila di tingkat daerah penggunaan kantong plastik mudah terurai tersebut justru dikesampingkan dan dilarang.

Nurmayanti, Kepala Bidang Standarisasi Produk, Pusat Standarisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyampaikan bahwa aturan mengenai standarisasi kantong plastik diatur dalan SNI 7188.7:2016 kriteria ekolabel kategori tas belanja plastik dan bioplastik yang mudah terurai. Menurutnya, penerapan kantong plastik mudah terurai tersebut sudah lazim diimplementasikan oleh gerai ritel modern.

“Jadi saat ini beredar kantong plastik yang SNI memang itu valid, itu sudah melalui proses sertfiikasi. Yang melakukan sertifikasi itu bukan KLHK tetapi lembaga kredibel,” tambahnya.

Sudaryatmo, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menyayangkan aksi pelarangan kantong plastik tanpa melibatkan stakeholder untuk dikaji dan dibahas lebih mendalam. Sebab aturan tersebut harus mempertimbangn aspek regulasi di tingkat pusat, self regulation dari pelaku usaha, consumer awareness dan pendekatan teknologi.

“Dalam proses regulasi baik di pusat dan daerah, mestinya ada konsultasi publik jadi ada pembahasan dengan stakeholder yang mesti diundang dan konsumen mesti ada. Catatan YLKI beberapa aturan regulasi di tingkat daerah yang melarang kantong plastik itu ada dua catatan yakni konten pelarangannya masih diperdebatkan dan juga harus mengajak bicara stakeholders,” tambahnya.

Selain itu yang tak kalah penting menurutnya adalah faktor edukasi dan sosialisasi, pasalnya konsumen harus dilindungi hak-haknya termasuk dalam hal mengetahui alasan dari pelarangan tersebut. Tak elok bila penerapan aturan pelarangan kantong plastik tanpa melibatkan pelaku usaha, akademisi, dan konsumen sebagai satu kestuan.

Consumer knowledge itu seberapa jauh literasi konsumen dan masyarakat untuk mengurangi sampah plastik? Kalau Pemda melakukan edukasi ke konsumen, tanpa dilarangpun konsumen berhenti sendiri tetapi ini dilakukan tidak? Consumer knowledge ini yang penting,” lanjutnya.

Roy menuturkan bahwa aturan pelarangan di daerah ini dilakukan tanpa melakukan kaijian matang terkait dengan dampak terhadap konsumen dan pelaku usaha. Saat ini setidaknya ada beberapa daerah yang berencana untuk menerapkan pelarangan penggunaan kantong plastik tersebut diantaranya Balikpapan, Banjarmasin, Bogor, Jakarta dan Bandung.

“Bicara kantong plastik, anggota Aprindo itu sudah patuhi SNI yang ekolabel dan jumlah ritel modern itu sedikit. Data Aprindo tak lebih dari 40.000 gerai seluruh anggota Aprindo sedangkan pengguna kantong plastik di luar ritel modern itu lebih besar jumlahnya ada tradisional trade yang jumlahnya 3 juta menurut data Nielsen jadi ini perlu diperhatikan dan dikaji,” lanjutnya.

Setyadi Surya, Sekretaris Perusahaan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) menyampaikan bahwa saat ini pihaknya telah menerapkan standarisasi kantong plastik yang muda terurai. Terkait dengan pelarangan penggunaan kantong plastik, dirinya mengaku belum banyak alaternatif yang bisa dilakukan karena minimnya kesadaran pelanggan untuk membawa kantong belanjaan sendiri ke gerai.

Sedangkan Satria Hamid Ahmadi, Vice President Corporate Communications PT Trans Retail Indonesia menyampaikan bahwa dari total pelanggan Transmart saat ini hanya sekitar 5% hingga 10% saja yang sudah membawa kantong belanjaan sendiri. Sedangkan sisanya masih mengandalkan berbelanja dengan menggunakan kantong plastik yang diberikan perusahaan. Apalagi menurut data Aprindo, sebanyak 80% pelanggan yang datang ke departement store tidak memiliki rencana untuk berbelanja sehingga mayoritas tidak membawa kantong belanjaan sendiri.

Yang jelas, Aprindo mendukung PP no.81 trahun 2012 pasal 1 ayat 3 dan Perpres No.97/2017 pasal 3 ayat 2 yang berkaitan dengan pengelolaan sampah rumah tangga. Oleh karena itu, pihaknya mendukung upaya pengelolaan dan pengurangan tersebut dengan berbasis pada aturan yang jelas seperti peraturan menteri yang implementasi secara nasional, bukan peraturan walikota dan bupati yang berbeda-beda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×