kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Andre mencintai animasi demi meraih impian


Sabtu, 19 September 2015 / 10:50 WIB
Andre mencintai animasi demi meraih impian


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Banyak orangtua menganggap, main game identik dengan membuang waktu. Padahal, banyak hal positif yang bisa didapat dari kegiatan ini. Itulah kesimpulan yang bisa didapat dari pengalaman Andre Surya, pendiri Enspire Studio dan Enspire School of Digital Art (ESDA).

Andre kecil kerap dimarahi orangtua karena menghabiskan sebagian besar waktu di depan layar televisi atau komputer untuk main game. Mereka menganggap game adalah momok yang bikin Andre malas belajar sehingga nilai-nilai rapornya anjlok.

Sementara, Andre merasa sudah menemukan passion itu sejak kecil lantaran suka mengulik atau modifikasi permainan game. Makanya, ia sering sembunyi-sembunyi untuk main game ini. “Saya menunggu sampai orang rumah tidur, baru saya bebas otak-atik game karena saya tertantang untuk menaklukkan game yang saya mainkan,” ujarnya.

Dari sekadar main game, hobi Andre berkembang jadi mempelajari komputer grafis. Secara spesifik, ia belajar animasi tiga dimensi (3D) secara otodidak. Padahal saat itu, ia baru duduk di bangku SMP. Hobinya ini terus berkembang walau ia mengaku tak bisa membanggakan prestasi di sekolah.

Setelah menamatkan pendidikan SMA, ia pun memilih jurusan Desain Komunikasi Visual karena dia menganggap  jurusan ini tepat untuk mengembangan keahlian dan minatnya terhadap animasi. Semasa kuliah di Universitas Tarumanegara, Andre juga bekerja di sebuah perusahaan periklanan dan visualisasi arsitektural, yakni Polaris 3D.

Akan tetapi, Andre kemudian menyadari bahwa ia salah jurusan. Kuliahnya pun terhenti.  “Hanya setahun, saya keluar karena memang tidak menikmati,” katanya.

Andre pun sempat melanjutkan pekerjaannya di Polaris 3D. Tapi akhirnya, ia kembali menekuni hobi di bidang animasi dengan berkuliah di Vancouver, Kanada. Kali ini, ia memilih jurusan film and special effects di sekolah film Vanarts. Lantaran memang mencintai animasi, Andre lulus hanya dalam waktu 1,5 tahun. “Nilainya bagus, tidak seperti sekolah atau perkuliahan sebelumnya,” kenang dia.

Setelah tamat dari sekolah film pada 2007, Andre bertekad mengejar impiannya bekerja di perusahaan berskala internasional. Impian itu tercapai ketika ia diterima bekerja di Lucasfilm Singapura, rumah produksi yang didirikan George Lucas, sutradara Star Wars.

Andre bekerja selama hampir lima tahun di Industrial Light and Magic, salah satu divisi Lucasfilm. Selama itu pula, Andre ikut dalam beberapa proyek animasi film-film box office, seperti Iron Man 1 dan 2, Transformers: Revenge of the Fallen, Terminatior: Salvation, Star Trek, dan Tango. “Saya bertanggung jawab untuk urusan efek visual di film-film tersebut,” tutur Andre.


Memulai bisnis sendiri
Pada 2012, Andre kembali ke tanah air. Pria yang berusia 29 tahun itu memang berniat kembali ke Indonesia untuk membangun bisnis sekaligus meneruskan passion atau kecintaannya di bidang animasi. Dengan merogoh kocek ratusan juta rupiah sebagai modal, ia merintis Enspire Studio, perusahaan animasi miliknya.

Sebagai portofolio, ia membuat film pendek berjudul The Escape. Dalam film tersebut, Andre ingin memperkenalkan keahlian di bidang animasi. Tujuannya tentu sebagai branding dan menggaet klien. Dus, ia tak main-main menggarap The Escape. Animasi berdurasi tiga menit itu diproduksi dengan kualitas tinggi. Sejauh ini, The Escape diganjar penghargaan Best Asian Short Animation di Los Angeles, Amerika Serikat dan finalis View Award di Italia. Tapi, selama enam bulan pertama, klien tak kunjung datang. “Saya hanya tahu produksi
tapi tak tahu berjualan, jadi cukup lama sampai kami punya klien dan punya pemasukan,” ujar dia.

Waktu itu, karyawan Andre hanya satu atau dua orang yang terus berganti-ganti karena merasa bisnisnya tak jelas. Namun, Andre hakul yakin, Enspire Studio bisa sukses. Lagipula ia punya misi khusus ketika kembali ke Indonesia. “Saya punya misi memberdayakan banyak orang, karena bekerja untuk diri sendiri atau keluarga saja, saya rasa tak cukup. Hidup harus lebih dari itu,” tuturnya.

Memang Andre selalu ingin jadi pengusaha sejak dulu. Tetapi, ia merasa harus bekerja dulu supaya ia punya bekal membesarkan usaha sendiri.

Walaupun awal usaha tak begitu manis, Andre tak pernah putus asa. Misi utama yang dimiliki jadi penyemangat sampai akhirnya ia menemukan rekan bisnis yang tepat. “Setelah itu, Enspire berjalan stabil. Saya mengurus produksi animasi, rekan saya yang mengurus bisnis perusahaan,” ujar dia.

Adapun klien Enspire Studio tak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Dalam setahun, setidaknya ia mengerjakan belasan proyek dengan nilai beragam, mulai puluhan juta rupiah hingga miliaran rupiah.  

Tak cukup dengan Enspire Studio, Andre kemudian mendirikan sekolah informal yang masih berkaitan dengan bidang animasi, yaitu Enspire School of Digital Art (ESDA). Kursus animasi ini dirintis sejak 2013. Andre ingin mengajarkan animasi pada banyak orang yang tertarik.

Hingga kini, ESDA sudah memiliki 700 orang murid. Tiap murid bisa mengikuti kursus berdasarkan level yang sesuai. Nah, biaya untuk mengikuti tiap level berkisar mulai Rp 2,7 juta sampai Rp 16 juta per orang. Bahkan, ada yang tertarik membuka cabang ESDA di beberapa daerah di Jabodetabek. Melihat celah ini, Andre pun membuka kemitraan untuk ESDA.

Di masa mendatang, Andre punya rencana untuk menerima klien ritel. Rencananya, Enspire Studio akan menerima proyek-proyek kecil untuk event tertentu, seperti wedding animation. Langkah ini diambil agar perusahaannya menjangkau lebih banyak klien dan memasyarakatkan karya animasi.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×