kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tax ratio Indonesia rendah, ini yang harus dilakukan otoritas pajak


Jumat, 22 Maret 2019 / 21:54 WIB
Tax ratio Indonesia rendah, ini yang harus dilakukan otoritas pajak


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - Isu tax ratio sempat disinggung dalam debat Capres 2019 lalu.Titik krusianya adalah tax ratio Indonesia terbilang masih rendah. Tax ratio Indonesia bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan Afrika Selatan, Brazil, dan Turki. Padahal, setiap 1% peningkatan tax ratio berkorelasi dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0.95%.

Saat ini, tax ratio Indonesia masih 11,6%. Adapun tax ratio merupakan rasio jumlah pajak yang dikumpulkan pada suatu masa dibandingkan atau dibagi dengan produk domestik bruto (PDB) di masa yang sama. Apa yang menyebabkan tax ratio Indonesia masih rendah? Hangga Surya Prayoga, Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Perpajakan (PSEP) menyampaikan bahwa tax ratio perpajakan Indonesia 11,6 % jika merujuk Outlook 2018, yang mana ini masih sangat rendah dibanding tax ratio rata-rata lower middle income country yang sebesar 17,7%.

"Ada beberapa masalah yang menjadi penyebabnya tax ratio Indonesia masih rendah," kata Hangga dalam Diskusi Publik bertajuk “Prospek Tax Ratio ditengah Ketidakpastian Global” yang digear PSEP di Cafe 88, Bintaro, Kamis (21/3/2019). Menurut Hangga, penyebab tax ratio Indonesia masih dibawah  tax ratio rata-rata lower middle income country akibat masih rendahnya tingkat kepatuhan karena biaya kepatuhan wajib pajak yang masih cukup tinggi. Kedua, kurang adanya kepastian hukum misalkan soal peraturan terkait tatacara pemungutan tarif jalan tol yang hanya berlaku tiga minggu dan kemudian dicabut. Ketiga, peer country pressure, yakni soal kurang bersaingnya tarif pajak di Indonesia dibanding negara- negara di ASEAN.

Adapun narasumber lainnya yang hadir daam diskusi publik ini adalah Muhammad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR, Edi Slamet Irianto, Praktisi Perpajakan, dan Berly Martawardaya, Direktur Program INDEF. Dalam pandangan Edi, memang GDP Indonesia terus naik dari tahun ke tahun, namun tax rationya fluktuatif. "Berdasarkan data dari 2013 sampai dengan 2017 cenderung turun," ungkapnya.

Merujuk data Kementerian Keuangan, tax ratio 2014 sebesar 13,7%, 2015 sebesar 11,6%, 2016 sebesar 10,8%, 2017 sebesar 10,7%, 2018 sebesar 11,6% (outlook) dan tax ratio 2019 sebesar 12,2% (target APBN). Edi menyebutkan, otoritas pajak harus melakukan komunikasi yang tepat terhadap wajib pajak secara segmented. Kemudian, soal memberikan kepastian hukum, terkait tax amnesty misalkan otoritas pajak harus konsisten. Edi Slamet juga menyinggung soal kapasitas otoritas pajak yang masih selevel eselon I dan tidak sebanding dengan tugas yang dipikul yakni bertanggung jawab terhadap sekitar 80% penerimaan negara.

Muhammad Misbakhun juga berpendapat bahwa tax ratio Indonesia masih sangat rendah oleh karenanya ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain meningkatkan efisiensi mekanisme restitusidan audit PPN yang belum optimal. "Penerimaan PPN kita masih sekitar Rp400 triliun padahal PDB kita diangka Rp15.000 triliun. Dengan mempertimbangkan pengecualian sebesar 30% maka potensi PPN kita diangka 1000 triliun," terangnya.

Misbakhun bilang, sinkronisasi kebijakan antara moneter dengan fiskal untuk mencapai keseimbangan ekonomi juga kudu dilakukan jika ingin tax ratio Indonesia meningkat. Selain itu, reformasi kelembagaan DJP. Pasalnya, kemandirian DJP sebagai institusi yang mandiri adalah bagian dari revolusi mental sebagaimana cita-cita Presiden Jokowi yang tertuang dalam nawacita, trisakti dan RPJM.

Ahasil, semua pihak harus ikut mendorong agar proses Pembahasan Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang didalamnya tertuang salah satunya soal reformasi kelembagaan DJP tidak berhenti ditengah jalan seperti saat ini. "DJP harus memperoleh kewenangan mengatur SDM, organisasi dan anggaran sendiri," tukas dia.

Hal senada diungkapkan Berly yang menyampaikan bahwa tax ratio Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara di ASEAN. "Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar," ujarnya. Pada tahun 2019 ini, Berly mengangap sebagai tahun yang sulit untuk perekonomian nasional. Selain karena ketidakpastian global juga karena Pemilu dan Pilpres, sehingga investor masih wait and see.

Berly menambahkan, dari hasil inventarisasi persoaan tax ratio di Indonesia didapat kesimpulan jika penerimaa PPh orang lebih kecil dari PPh badan, padahal di negara-negara ASEAN lain umumnya yang 2-3 kali lipatnya. Kemudian, kepatuhan pembayaran pajak (Badan dan Orang) perlu ditingkatkan, ketidakpastian global dan pilpres akan kurangi FDI di 2019 sehingga pertumbuhan ekonomi lebih rendah hingga persoalan tarif pajak, khususnya pajak badan, yang masih relatif tinggi
dibandingkan dengan dengan rata-rata ASEAN dan OECD.

Atas dasar itu, dia merekomendasikan perlunya peningkatan proporsi penduduk yang memiliki NPWP, ketatkan pengawasan dan sanksi pada perusahaan yang tidak patuh, membayar pajak khususnya di sektor tambang, penguatan ekoomi nformal khususnya industri, perlu dikaji apakah penurunan tarif pajak PPh Badan akan meningkatkan FDI dan penerimaan pajak, dan meningkatkan sistem perpajakan yang memudahkan wajib pajak.

Ketika ditanya soal pentingnya pemisahan DJP dari Kemenkeu, Berly menjawab bahwa dia sudah melakukan riset dan hasilnya positif untuk penerimaan negara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×