kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sidang perdana pasien kanker, Presiden, Menkes, dan BPJS tak hadir


Selasa, 21 Agustus 2018 / 21:28 WIB
Sidang perdana pasien kanker, Presiden, Menkes, dan BPJS tak hadir
ILUSTRASI. Ilustrasi Simbol Hukum dan Keadilan


Reporter: Kiki Safitri | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sidang perdana gugatan penderita kanker payudara HER2 positif, Juniarti SH, dan suami, Edy Haryadi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek, Dirut BPJS Fahmi Idris dkk, dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis Prof Agus Purwadianto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (21/8). Sayangnya sidang ini tidak dihadiri pihak tergugat atau perwakilannya.

Tim kuasa hukum penggugat terdiri dari Rusdianto Matulatuwa, SH, Hemasari Dharmabumi, SH, kuasa hukum, Wildan Nurul P, SH, Oktryan Makta, SH, Wahyu Budi Wibowo, SH, dan Andre Abrianto Manalu, SH.

Gugatan dengan nomor perkara 532/Pdt.G.2018/PN.Jkt,.Sel itu resmi didaftarkan tanggal 27 Juli 2018 lalu. Gugatan ini termasuk dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Penguasa atau Onrechtmatige Overheidsdaad.

Gugatan ini berawal dari Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan R Maya Armiani Rusady, Nomor 2004/III.2/2018 tanggal 14 Februari 2018 yang ditujukan kepada Kepala Cabang BPJS di seluruh Indonesia untuk menghentikan penjaminan terhadap obat trastuzumab sejak 1 April 2018.

Juniarti sangat bergantung pada obat trastuzumab yang sangat penting untuk memperpanjang hidup penderita kanker payudara HER2 positif. Akibatnya, Juniarti tidak bisa mengakses trastuzumab karena ia baru terdeteksi sebagai penderita kanker payudara HER2 positif pada Mei 2018. Alhasil kelangsungan nyawa Juniarti terancam.

Mediasi dengan BPJS pun dinilai tidak memberi jalan keluar apa pun. BPJS dinilai masih tetap mempertahankan pendapatnya untuk menghentikan penjaminan terhadap trastuzumab.

Setelah melalui dua kali mediasi dengan pihak BPJS, tangal 3 Juli dan 23 Juli 2018, pihak BPJS tetap bersikeras menghentikan penjaminan terhadap trastuzumab meski mereka tahu hal itu sama saja mempermainkan nyawa Juniarti dan penderita kanker payudara HER2 positif lainnya di Indonesia yang jumlahnya 20% dari seluruh penderita kanker payudara.

BPJS seharusnya paham dan sadar bahwa kanker payudara adalah salah satu penyakit yang paling banyak merengut nyawa wanita di Indonesia dan dunia.

Adapun tujuan gugatan ini adalah agar penderita kanker payudara HER2 positif yang terdeteksi setelah 1 April 2018 bisa mengakses kembali trastuzumab yang sangat penting untuk memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif.

Bila pertimbangan BPJS obat itu mahal, karena harganya di pasaran Rp 25 juta untuk sekali pakai dari 8 kali pemakaian minimal yang dulu dijamin BPJS dari 16 kali yang disarankan, BPJS mestinya lebih rajin melakukan riset, karena pada tahun 2019 hak paten Herceptin atau merek obat dagang tratuzumab, akan habis di Eropa dan Bio Farma, selaku BUMN Farmasi Indonesia, kini tengah mengembangkan versi generik trastuzumab yakni biosimilar trastuzumab.

Sehingga bisa dikatakan bahwa penghapusan obat itu karena alasan efisiensi sangat tidak tepat. Sebab versi generik obat trastuzumab setahun lagi bisa dinikmati di Indonesia sehingga bisa menekan biaya tinggi dalam pengobatan kanker payudara HER2 positif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×