kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

RPP Cipta Kerja bidang penyiaran, konten lokal berpotensi semakin berkurang


Jumat, 05 Februari 2021 / 15:22 WIB
RPP Cipta Kerja bidang penyiaran, konten lokal berpotensi semakin berkurang
ILUSTRASI. Dalam RPP Cipta Kerja bidang penyiaran, konten lokal berpotensi semakin berkurang.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah dalam proses penyusunan aturan turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu aturan turunan tersebut adalah rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pos, telekomunikasi dan penyiaran.

Sebagai informasi, dalam draf RPP pos, telekomunikasi, dan penyiaran per 5 Januari 2021, pasal 73 ayat (5) menyebut, “Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang melaksanakan penyelenggaraan penyiaran digital melalui media terestrial dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia dan regional, siarannya wajib memuat konten lokal paling sedikit 20% dari waktu siaran keseluruhan per hari.”

Namun, dalam draf RPP pos, telekomunikasi, dan penyiaran per tanggal 30 Januari 2021, ketentuan kewajiban minimal konten lokal dikurangi. Hal ini tercantum dalam pasal 72 ayat (5) yang menyebut, “Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang melaksanakan penyelenggaraan penyiaran digital melalui media terestrial dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia dan regional, siarannya wajib memuat konten lokal paling sedikit 10% dari waktu siaran keseluruhan per hari.”

Baca Juga: Perluasan usaha agen di RPP Cipta Kerja bidang pelayaran dinilai bisa ganggu industri

Menanggapi hal tersebut, pengamat penyiaran publik, Darmanto mengatakan, UU Cipta Kerja seharusnya memandang dunia penyiaran sebagai institusi sosial, politik, budaya yang mempunyai mandat universal. Yakni memberikan informasi, mendidik, dan menghibur.

“UU Cipta Kerja kurang memperhatikan konten lokal karena hanya 10% dari total waktu siaran. Konten lokal akan semakin tergerus karena patokan minimalnya hanya 10% dari total waktu siaran,” kata Darmanto dalam focus group discussion (FGD) menyikapi RPP Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran, Jumat (5/2).

Kemudian, kewenangan pengawasan dan pengendalian lembaga penyiaran ada pada menteri. Hal ini tercantum dalam pasal 90 RPP tersebut. Selain itu, pengawasan isi siaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Dewan Pengawas berpotensi tidak diperlukan lagi karena pengawasan dan pengendalian di bidang non program dipegang oleh pemerintah. Sedangkan pengawasan program oleh KPI,” ucap Darmanto.

Sementara itu, mantan anggota DPR yang juga Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyiaran (UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran), Paulus Widiyanto mengatakan, pengaturan penyuaran dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya tidak memiliki paradigma konten dan strategi kedaulatan budaya menuju produksi konten khas Indonesia.

“Yang ingin saya katakan, UU Cipta Kerja dan RPP-nya itu (harusnya) memberi ruang pada partisipasi publik, pada kolaborasi ke publik untuk mengisi program-program dalam LPP (lembaga penyiaran publik). Itu tidak ada di UU Cipta Kerja dan tidak ada di RPP,” ujar Paulus.

Selanjutnya: Kerjasama OTT dan penyelenggara jaringan berpotensi mendatangkan investasi baru

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×