kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi masih dikaji, menaker nilai PP 78/2015 sudah beri kepastian soal pengupahan


Selasa, 23 April 2019 / 16:10 WIB
Revisi masih dikaji, menaker nilai PP 78/2015 sudah beri kepastian soal pengupahan


Reporter: Abdul Basith | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri nilai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan sudah cukup beri kepastian. Berdasarkan PP tersebut upah minimum ditentukan oleh sejumlah komponen. Antara lain adalah inflasi dan selisih Produk Domestik Bruto (PDB).

Hanif bilang penghitungan tersebut memberikan kepastian untuk seluruh sektor yang terlibat dalam pengupahan. Dari sisi pengusaha Hanif bilang alan mendapatkan kepastian mengenai perencanaan keuangan perusahaan.

"Akan memudahkan perencanaan keuangan dari dunia usaha karena kenaikan upahnya menjadi predictable," ujar Hanif usai rapat di Istana Bogor, Selasa (23/4).

Kepastian terkait upah juga akan didapat oleh tenaga kerja. Pasalnya penghitungan upah minimum dengan menggunakan unsur inflasi dan PDB akan memastikan upah naik tiap tahunnya.

Kenaikannya pun dipastikan dapat menutupi konsumsi karena telah menghitung inflasi. Selain itu faktor PDB juga dipastikan menambah upah buruh dengan layak. "Itu kan kontributornya banyak bukan hanya pekerja tetapi total angka kita berikan kepada pekerja," jelas Hanif.

Penghitungan dalam PP 79/2015 juga akan memberikan kepastian bagi calon angkatan kerja. Hanif bilang upah yang besar akan mempersulit dunia usaha melakukan penambahan tenaga kerja.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo sempat menyinggung akan melakukan revisi PP 78/2015 tersebut. Pasalnya PP tersebut dinilai menerapkan upah murah bagi buruh.

Hanif bilang rencana tersebut masih dikaji secara mendalam. Beberapa masukan telah diterima oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) termasuk masukan dari buruh. "Buruh maunya survei komponen hidup layak (KHL) oleh dewan pengupahan," terang Hanif.

Namun, survei tersebut pun tidak memiliki kejelasan pihak yang melakukan survei. Hal itu rentan terdapat perbedaan hitungan survei yang dilakukan buruh dan pengusaha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×