kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Politisi butuh amunisi, pengusaha bidik kayu


Rabu, 18 April 2018 / 20:02 WIB
Politisi butuh amunisi, pengusaha bidik kayu
ILUSTRASI.


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun pesta demokrasi. Di tahun ini, ada 171 pemilihan kepala daerah di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Selain itu, tahapan pemilihan presiden dan pemilu legislatif 2019 juga akan dimulai. Salah satu yang penting adalah pendaftaran calon anggota DPR/DPRD dan DPD serta penetapan dan pengumuman capres dan cawapres.

Untuk mengawal pemilu dan pilpres, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) akan menjadikan momentum politik ini sebagai agenda penting dalam upaya mengawal para calon, kepala daerah, legislatif dan calon presiden yang pro terhadap pelestarian lingkungan hidup. Rencananya, Walhi akan mengadakan kegiatan Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) di Medan, Sumatera Utara, pada 22-25 April 2018. Dalam gelaran tersebut akan memunculkan rekomendasi lingkungan. KNLH ini juga diselenggarakan bertepatan dengan Hari Bumi 2018.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian dan Pembelaan Hukum Walhi yang juga ketua pelaksana KNLH mengatakan, Kota Medan dipilih sebagai representasi Sumatra Utara karena menjadi awal mula sejarah monokultur di Indonesia, yakni eksploitasi perkebunan sawit yang sudah berlangsung selama satu abad. Sumatra Utara juga menjadi lokasi awal mula perlawanan rakyat terhadap pengusaan lahan oleh korporasi.

Dalam kegiatan KNLH, Walhi akan meluncurkan kampanye Rimba Terakhir. Dalam kampanye tersebut, Walhi mendesak pengarusutamaan flatform poitik lingkungan dalam pilkada 2018. "Kampanye Rimba Terakhir ini ingin mengajak publik untuk mengingat kembali bahwa Sumatra Utara merupakan wilayah yang hutan alamnya dihancurkan dalam kurun waktu yang lama," katanya kepada KONTAN, Rabu (18/4).

Seabad yang lalu, perkebunan sawait masuk dan menjadi prototype bagi investasi perkebunan sawit, dilanjutkan dengan penghancuran hutan alam untuk kepentingan industri bubur kertas dan kertas. Namun sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia juga mencatat perjuangan rakyat yang begitu besar, kaum perempuan yang mempertahankan hutannya, kebudayaannya dari ancaman investasi, berbasis korporasi skala besar. Hingga hari ini, perjuangan tersebut tidak pernah padam.

Walhi menyadari penyelamatan Rimba Terakhir yang tersisa tidak semudah membalikan telapak tangan, terlebih momentum politik selalu menempatkan hutan dan kekayaan alam lainnya sebagai ladang untuk meraup pundi-pundi pendanaan guna mendanai kepentingan politik kekuasaan. "Pengrusakan hutan selalu berawal dari tahun politik. Politisi perlu amunisi sedangkan pengusaha butuh kayu atau hutan untuk perluasan lahan dan investasi. Maka terjadilah perubahan regulasi yang akhinya berujung pada kerusakan hutan," ungkap Zenzi.

Untuk itu, Walhi ingin memasukkan agenda pemulihan lingkungan ini sebagai isu utama dalam perdebatan politik baik dalam pilkada, pileg, maupun pilpres. Artinya, kalangan elite politik dan kekuasaan harus bertanggung jawab terhadap kehancuran hutan di Indonesia selama ini. "Kalau Rimba Terkahir ini dibiarkan rusak juga, maka hilang juga peradaban kearifan lokal, dan identitas masyarakat hilang," tukasnya.

Zenzi menjelaskan, akibat penguasaan lahan oleh korporasi terjadi pergeseran posisi rakyat terhadap ruang dan sumber daya alam (SDA). Sebelum masifnya arus investasi di sektor kehutanan, rakyat merupakan subjek SDA atau pemilik lahan dengan menghasilkan berbagai komoditas produksi berbasis rakyat. Kini, masyarakat menjadi subjek teritori yang tidak lagi memiliki lahan karena sudah beralih ke perusahaan. Mereka sekarang banyak yang menjadi petani pekerja di perkebunan. Kemudian, kondisi hutan yang tadinya heterogen berubah menjadi monokultur. Imbasnya, tidak hanya menyebabkan perubahan kondisi hutan tapi berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

Selain terpaksa menjadi pekerja di perkebunan, generasi muda di pedesaan berbondong-bondong ke kota, sehingga arus urbanisasi dari daerah meningkat tajam. Nah, generasi kedua ini, tidak bisa bertani atau berkebun. Sebab, tidak mendapat warisan lahan dari orangtuanya karena sudah beralih milik ke perusahaan. Dalam hal ini, Walhi mendorong lahan-lahan hak guna usaha (HGU) yang habis masa izinnya agar dikembalikan lagi ke komunitas masyarakat setempat atau asal. Sayangnya, akses informasi terhadap HGU yang akan habis masa berlakunya tersebut di Badan Pertanahan Nasional sangat tertutup.  

Menurut Zenzi, pihak-pihak atau masyarakat adat yang menuntut pengembalian HGU ini justru kerap dikriminalisasi oleh pihak korporasi yang secara ekonomi bisnisnya sudah mapan. "Di beberapa daerah, mereka diancaman dibunuh atau anak perempuannya diintimidasi agar diam dan tidak melakukan perlawanan," sebutnya.

Sejatinya, kebijakan reforma agraria bisa memberikan ruang kepada masyarakat untuk bisa mendapatkan kembali lahan-lahan yang dulunya dimikiki sebelum beralih ke korporasi. Sayangnya, kebijakan reforma agraria belum menyentuh pada lahan-lahan yang memikiki potensi konflik antara masyarakat dengan pengusaha. Zenzi berujar, reforma agraria baru menjangkau tanah-tanah kosong yang tidak produktif dan tidak ada sengketa.

Posisi dan relasi
Di sisi lain, perubahan regulasi yang lebih berpihak ke pemodal imbas masifnya arus investasi menyebabkan perubahan posisi dan relasi negara terhadap korporasi yang awalnya occupation dan independent relation selama masa kolonial dan pasca proklamasi. Kini, bertransformasi menjadi binding relationship pada era Orde Baru. Bakan setelah repormasi, hubungan negara dengan perusahaan pemegang izin-izin lahan menjadi dependent relationship. Alhasil, "Negara tidak lagi leluasa menegakkan hukum terhadap korporasi penghancur hutan," kritik Zenzi.

Celakanya, perusahaan kakap ini dengan leluasa mengubah wilayah-wilayah hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi kavling-kavling lahan dengan sistem monokultur yang dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan. "Hanya menjadi pundi-pundi kekayaan bagi para taipan, sedangkan rakyat terkena imbas kerusakan hutan. Begitu juga negara harus yang menanggung beban ekonomi sekitar Rp 200 triliun untuk memulihkan kerusakan parah dari hutan," paparnya.

Dari data Walhi, pelepasan kawasan hutan menjadi perkebunan paling banyak terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto yakni sekitar 4 juta hektare (ha) dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni 2,06 juta ha. Sementara era Jokowi tercatat hanya 115.256 ha, Megawati 47.293 ha, Gus Dur 501.443 ha, dan Habibie 56.744 ha.
Atas kerusakan hutan yang semakin memprihatinkan ini, Walhi lewat agenda KNLH berupaya mendorong komitmen pihak terkait untuk merumuskan solusi dari krisis ekologi tersebut. Walhi juga mendorong gerakan ekonomi nusantara dengan memperkuat wilayah kelola rakyat. Ekonomi nusantara merupakan gerakan untuk mendorong kembali praktek pengembangan ekonomi masyarakat yang sudah berlangsung selama sekian abad dan terbukti ramah lingkungan.

Dalam mengampanyekan isu-isu tersebut, Walhi memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dukungan dari para pekerja seni, musisi untuk penyelamatan Rimba Terakhir. Andy Fadly Arifudin, Rindra Risyanto Noor, dan Rival Hilman (Pallo) merupakan sahabat Walhi yang mengambil bagian dalam kampanye penyelamatan Rimba Terakhir. "Musisi juga turut bertanggung jawab terhadap upaya pelestarian hutan dan kearifan lokal masyarakat. Jadi, masing-masing memiliki tugas sesuai kapasitasanya. Kami, lewat music social responsibility ingin bersama-sama menyelamatkan Rimba Terakhir," harap Rindra pada kesempatan yang sama.

Hal senada diutarakan Fadly, yang berharap semakin banyak dari kalangan musisi untuk memberikan perhatian terhadap penyelamatan hutan dari kerusakan. "Penghancuran hutan menjadi keresahan bersama. Saya sebagai musisi terpanggil untuk mengingatkan semua pihak untuk menjaga kelestarian hutan," pintanya.

Vokalis band PADI yang kini menekuni aquaponik, yakni sistem pertanian berkelanjutan yang mengombinasikan akuakultur dan hidroponik dalam lingkungan yang bersifat simbiotik, juga bercerita pengalamannya ketika melakukan perjalanan ke Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Kepulaun Riau, pada perheletan Festival Sagu, beberapa tahun lalu. "Setelah ke Sungai Tohor, saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat lebih mampu mengelola kekayaan alam sekaligus menjaga kelestariannya. Masyarat Sungai Tohor berdaulat di tanahnya sendiri," ungkap Fadly.

Sebelumnya, masyarakat adat Sungai Tohor, menjadi korban kebakaran hutan dan lahan akibat praktik buruk industri skala besar. Warga memproduksi sagu yang menjadi komoditas penting dan menjadi sumber pendapatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×