kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perjuangkan nasib sawit, Jokowi dan Mahathir Mohammad surati Uni Eropa


Senin, 08 April 2019 / 13:17 WIB
Perjuangkan nasib sawit, Jokowi dan Mahathir Mohammad surati Uni Eropa


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia dan Malaysia sepakat melayangkan keberatan atas diskriminasi produk minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) yang dilakukan oleh Uni Eropa. Keberatan disampaikan melalui surat resmi yang ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa surat tersebut sudah dikirimkan ke Uni Eropa pada Minggu (7/4) malam. Kendati sudah disampaikan, Luhut enggan merinci poin-poinnya.

"Dibaca di sana dulu. Surat itu isinya cukup tegas. Poinnya tidak usah," jelas Luhut dalam acara coffee morning bersama wartawan di kantornya, Senin (8/4).

Seperti diketahui, Uni Eropa berencana mengimplementasikan regulasi untuk kesepakatan renewable energy directive (RED II). Kesepakatan yang ini dibuat Uni Eropa untuk mengkategorikan tanaman kelapa sawit sebagai produk yang berisiko tinggi dan penyebab deforestasi. Sehingga akan ada pembatasan suplai CPO di Uni Eropa.

Hasil kajian Komisi Eropa dalam RED II menunjukkan 45% ekspansi CPO berujung pada kehancuran hutan. Sedangkan ekspansi dari minyak kedelai (soybean oil) hanya menyumbang 8% kerusakan, serta rapeseed dan bunga matahari hanya berkontribusi 1%. Tiga komoditas tersebut adalah pesaing dari hasil kelapa sawit dalam pasar minyak nabati global.

Indonesia dan Malaysia menolak RED II sebab, jelas Luhut, kedelai membutuhkan 10 hektare tanah untuk menghasilkan satu ton minyak kedelai. Sedangkan sawit hanya membutuhkan satu hektare tanah untuk menghasilkan satu ton minyak. Sehingga dari sisi produktivitas, sawit jawaranya.

Di sisi lain, Luhut mengatakan tindakan ini sebagai upaya pemerintah melindungi petani sawit. Dia menyebut ada sekitar 20 juta petani sawit yang akan terdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung apabila ada pembatasan penggunaan sawit di Uni Eropa.

Indonesia dan Malaysia selama ini memang dikenal sebagai negara produsen CPO terbesar yang menguasai pasar dunia.

"Saya juga berharap lembaga swadaya masyarakat (LSM) terpanggil karena ini menyangkut 20 juta petani," tutur Luhut.

Terkait masalah lingkungan, Luhut menjamin pemerintah tidak akan membuat kebijakan yang merusak masa depan generasi berikutnya. Dia mencontohkan keseriusan pemerintah menggarap perbaikan Citarum. Ini menegaskan bahwa pemerintah juga tetap fokus pada isu lingkungan.

"Ada 14 juta hektare (lahan sawit) sudah moratorium, sepanjang Jokowi sudah tidak ada lagi," jelasnya.

Moratorium adalah penghentian sementara perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Moratorium bertujuan memberi waktu untuk evaluasi dan menata kembali izin perkebunan sawit dan meningkatkan produktivitas. Moratorium ini ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018.

Luhut menjelaskan CPO memiliki efek berganda yang luas. Saat ini, dia ingin menjaga keseimbangan antara suplai dan permintaan supaya bisa menjaga harga CPO di kisaran US$ 800-US$ 900 per ton. Juga mendorong produktivitas sawit dengan program replanting.

"Ke depan kita ingin menambah kaya petani," jelas dia.

Luhut juga menambahkan CPO terkait dengan kondisi defisit neraca transaksi berjalan alias current account deficit (CAD). Saat ini pemerintah juga tengah berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor energi. Upaya yang sudah dilakukan pemerintah adalah dengan penerapan B20.

"Nanti dari CPO kita convert jadi energi apakah bensin, biodiesel, avtur. Penggunaan dalam negeri itu yang paling besar," jelas dia.

Bahkan untuk memperjuangkan nasib CPO, Luhut menyebut pilihan terburuk adalah Indonesia keluar dari Paris Agreement.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×